STOP EFORIA DAN OVER DOSIS HARAPAN KEPADA OBAMA

2 463
WRITENOW (Rabu 21 Januari): Barack Hussein Obama Rabu (21/1) dini hari resmi menjadi presiden ke-44 Amerika Serikat. Bahwa Obama menjadi orang kulit hitam pertama yang menjadi presiden di sana, itulah Amerika. Bahwa pelantikannya dihadiri lebih dari 2 juta orang dan disaksikan miliaran pasang mata masyarakat dunia, itulah Amerika. Tapi berharap terlalu lebih kepada Obama, nanti dulu.

Dalam soal gegap gempita, peristiwa warga AS yang menantikan sang presiden baru di acara pelantikan itu memang luar biasa. Saya tidak bisa membayangkan lebih dari dua juta orang yang berkumpul di sekitar US Capitol, semuanya tertib mengelu-elukan sang presiden. Mereka bersorak, melambaikan tangan, khusuk berdoa dan tersenyum menantikan dunia baru.

Banyak orang di dunia yang menanti-nantikan apa gerangan yang akan dikatakan Obama dalam pidatonya setelah disumpah sebagai presiden. Entah, siapa yang menyuruh dan berharap dalam pidatonya Obama sebaiknya menyinggung soal perang Israel-Palestina di Jalur Gaza, sehingga Obama belum apa-apa dituding telah berbuat “kesalahan besar” karena faktanya dia memang tidak menyinggung soal perang di Timur Tengah itu.

Diamnya Obama seperti itu ditafsirkan bahwa dia tidak ubahnya George W Bush yang “merestui” tindakan Israel yang menggempur Gaza. Kesimpulan seperti itu dapat kita lihat dari apa yang diungkapkan Amien Rais dan tokoh-tokoh lain dalam wawancara televisi saat sejumlah stasiun televisi menyiarkan secara langsung pelantikan Barack Obama.

Itulah repotnya kalau kita terlalu bereforia dan berharap “over dosis” kepada Obama. Kasihan Obama. Benar, seperti yang ditulis dalam editorial Media Indonesia hari ini, karena pernah tinggal dan menghabiskan masa kecil di Jakarta, Obama diharapkan jauh lebih memahami dan berempati terhadap jalan pikiran, harapan, impian, dan perjuangan rakyat Indonesia dibandingkan dengan presiden-presiden AS sebelumnya.

Akan tetapi, menurut Media Indonesia, mengharapkan Obama akan memberikan privelese, bantuan, kemudahan, serta perhatian lebih untuk membuat agenda-agenda yang pro-Indonesia dalam kebijakan luar negerinya adalah sikap tidak proporsional.

Begitu pula dalam konteks lain, tidaklah proporsional — bahkan tidak ada kaitannya sama sekali — berharap over dosis kepada Obama hanya lantaran latar belakang nama Obama yang jelas-jelas baunya bukan khas orang bule (barat).

Fakta tidak bisa dimungkiri, Obama adalah seorang presiden pertama AS dari keturunan Afrika yang berkulit hitam, berasal dari keluarga Muslim (ayahnya) dan menghabiskan masa kecilnya di sebuah negara Muslim terbesar di dunia, yaitu Indonesia.

Nama Barack Hussein Obama sendiri berasal dari nama Arab-Islam. Barack (berasal dari barrak) yang artinya dilimpahi berkah atau baraq (kilat). Sedangkan Hussein jelas-jelas adalah nama Arab. Nama Obama bahkan dilekatkan atau dikait-kaitkan dengan Osama (bin Laden).

Nama yang mengandung unsur teologis itu jelas tidak bisa dijadikan ukuran — apalagi dijadikan sebuah harapan — bahwa sang pemilik nama akan bersikap “ngislami” (Jawa) atau “ngristeni” mentang-mentang Obama disumpah dengan cara Kristen dan tangannya memegang sebuah Injil.

Berandai-andai kiprah Obama ke depan dengan asumsi-asumsi seperti itu jelas sangat berlebihan. Kalau memang ini yang kita jadikan patokan, sungguh sangat naif. Ujung-ujungnya kita bakal menemui kekecewaan sebagaimana dirasakan Amien Rais.

Oleh sebab itu saya sependapat dengan Mohamad Guntur Romli dalam artikelnya berjudul “Obama, Palestina, dan Timur Tengah” di harian Kompas hari ini. Pada intinya, dia menulis sangatlah berlebihan jika kita terlalu menuntut sangat banyak dari Obama, seolah-olah perubahan yang “harus” dilakukan oleh Obama di dunia internasional sebanding lurus dengan perubahan di dalam negerinya. Obama tetaplah presiden AS yang akan menentukan kebijakan luar negerinya tidak keluar dari garis kepentingan nasional Amerika.

Oleh sebab itu tidak ada alasan apa pun dan siapa pun untuk kecewa kepada Obama jika dalam pidatonya subuh tadi dia tidak banyak menyinggung soal konflik di Gaza. Saatnya kita belajar menerima tanpa harus meminta apalagi menuntut pakai marah-marah lagi.***

Gantyo Koespradono, dikutip dari GEKA-WRITENOW

2 Comments
  1. plague doctor says

    ah…
    karena latar belakang, kita jadi terlalu berharap

    janganlah berharap kepada selain ALLAH.

    emangnya jadi presiden gampang?
    kita ini sungguh awam dan tak tahu sebegitu sulitnya presiden membuat kebijakan.

  2. Benar, percuma kita berharap kepada manusia. Kalau mau berharap, berharaplah kepada Tuhan, sebab Dialah yang mempunyai otoritas atas kehidupan di dunia ini.

    Kita harus belajar bersyukur. Dengan bersyukur, kita pasrah. Dengan pasrah, kita tak banyak menuntut, tapi sebaliknya kitalah yang memberi. Memberi harus ikhlas, nggak boleh sambil ngelus dada.

Leave A Reply

Your email address will not be published.