NOSTALGIA BELITANG (2): “PASTOR, KOK PAKAI ROK”

1 343

WRITENOW (Kamis 29 Januari): “Saya sampai merinding membaca tulisan Bapak. Memang begitulah keadaan Belitang zaman dulu. Belitang kelihatan makmur baru 10 tahun terakhir.”

Itulah komentar Sugeng di blog ini ketika saya menulis tentang cinta seorang ibu kepada anak-anaknya. Dalam tulisan itu kebetulan saya menyinggung sedikit tentang Belitang, saat di mana kami sekeluarga hidup susah.

Dalam komentarnya, Sugeng mengungkapkan, baru beberapa tahun terakhir ini orang Belitang panen karet dengan harga di atas Rp 10.000. Tapi sekarang karet tidak ada harganya lagi. “Masa kecil, saya habiskan di Belitang sampai SMA, tepatnya di Desa Jayamulya BK-12 dengan kondisi hidup segan mati tak mau. Hidup serba kekurangan mending kalau pas-pasan,” tulisnya.

Belitang adalah satu dari 16 kecamatan yang ada di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur. Mayoritas penduduknya merupakan warga transmigrasi yang sudah beranak-pinak di tempat ini.

Belitang adalah kota kecamatan dengan ibukota Gumawang. Jarak Gumawang-Palembang sekitar 360 kilometer. Palembang di mata kami adalah kota sejuta harapan. Saya masih ingat, ketika Ayah bertugas ke Palembang, kami merindukan ayah membawa oleh-oleh saat pulang. Suara deru bus di malam hari sering kami tandainya: “Itu Bapak pulang”. Tapi begitu Ayah tidak muncul, kami kecewa.

Hampir seluruh wilayah Belitang dipenuhi hamparan padi yang tumbuh subur dan hijau. OKU Timur adalah daerah sentra produksi beras dan penyangga stok pangan Provinsi Sumatera Selatan. Tahun 2007 lalu OKU Timur merayakan hari jadinya yang ketiga, setelah resmi menjadi salah satu kabupaten pemekaran dari Kabupaten induk OKU.

OKU Timur yang kini berpenduduk sekitar 600 ribu jiwa, sebanyak 65 persen merupakan para pendatang yang bermukin di tempat ini melalui program transmigrasi. Mereka tersebar di 127 desa transmigrasi dari 210 desa yang ada di wilayah OKU Timur.

Program transmigrasi di daerah ini sudah ada sejak masa kolonial Belanda. Program transmigrasi di sini berjalan berkesinambungan sehingga telah memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan dan kemajuan OKU Timur.

Saat kami berada di Belitang, seingat saya belum ada SMA. Paling banter hanya SMP. Saya sekolah di SD Xaverius, kakak tertua di SMP yang sama. Rumah sakit hanya satu, RS Charitas yang dikelola yayasan Katolik. Di sebelah rumah sakit ada gereja yang setiap pukul 12.00, loncengnya selalu berbunyi, dentangnya menggaung hingga jauh sekali. Kami sering menertawai pastor yang keturunan Belanda saat melintas di rumah kami. “Laki-laki, kok pakai rok,” begitu celotehan kami.

Sekarang Belitang telah berubah. Informasi yang saya peroleh dari koran Suara Karya, di kota ini sekarang sudah ada perguruan tinggi strata S2. Penduduk Belitang sekarang terdiri 54.000 KK. Dari segi infrastruktur, Belitang sudah memiliki perbankan, pertanian, dan punya irigasi terbaik.

Di samping rumah dinas Ayah, ada sungai. Kalau hujan deras, airnya selalu meluap ke pekarangan rumah meskipun cuma 30 cm. Di saat musim kemarau, warna airnya kemerah-merahan namun jernih. Saya dan kakak sesekali bermain air di sungai di bawah jembatan yang melintas di jalan utama dekat rumah.

Jembatan terbuat dari papan tebal yang di samping kiri dan kanannya dipasang papan membentang agar pas dengan roda mobil yang biasa melintas. Saat kami asyik bermain air, sering guru kami melintas dengan sepeda seusai mengajar.

Mengetahui guru kami akan melewati jembatan, buru-buru kami bersembunyi di bawah jembatan. Dari bawah dan celah-celah papan jembatan, kami bisa mengintip sepeda guru kami sudah selesai melintasi jembatan atau belum. Kalau sudah tidak ada suara “gledek, gledek, gledek …” berarti situasi aman, pertanda kami boleh ke tengah sungai belajar berenang.

Soal berenang, saya menganggap semua orang bisa berenang, seperti halnya binatang. Anjing kami yang bernama Soplo saat banjir datang, ternyata juga bisa berenang. Saya pikir manusia juga begitu, saat berada di air otomatis badannya mengambang.

Suatu hari, saya dan kawan-kawan sekolah berenang di sungai yang terletak agak jauh dari rumah. Saya manyaksikan semua kawan saya bisa berenang. Mereka dengan asyiknya terjun ke sungai dari tepi jembatan, byur …!

Ingin seperti mereka, saya ikut-ikutan berenang. Karena takut, saya tidak meloncat dari atas jembatan, tapi dari tepi sungai. Tanpa pikir panjang begitu badan telah masuk ke air, saya langsung sorongkan badan ke tengah sungai.

Ya ampun, apa yang terjadi? Badan saya tidak mengambang. Saya gelagapan. Air sungai tertelan melalui mulut dan telinga. Saya sempat berpikir, ini saatnya saya mati. Di dalam air, saya sempat menangis, tidak tahu harus berbuat apa.

Tidak lama kemudian saya melihat ada ranting berwarna hijau yang menjuntai di atas kepala saya. Langsung saya raih. Ternyata ranting yang masih ada daunnya itu sengaja dijulurkan oleh teman-teman saya dari atas jembatan. Begitu ranting itu saya pegang, mereka kemudian menarik saya ke atas. Saya selamat. Saya tidak habis pikir teman-teman saya yang waktu itu berusia rata-rata 8 tahun bisa menyelamatkan nyawa saya.***


Gantyo Koespradono, dikutip dari GEKA-WRITENOIW.

1 Comment
  1. Kuyus is cute says

    Alhamdulillah ..
    Wah ceritanya seru sekali. Mengenang masa kecil itu indah, sekaligus deg deg an membaca cerita.

    Namanya juga anak anak .. wah jadi terinspirasi menuliskan cerita masa kecilku yang lugu dan polos *aih aih boongnya!! ha ha ..*

Leave A Reply

Your email address will not be published.