Catatan Gantyo

IISIP Ditetapkan sebagai Lembaga Penguji Kompetensi Wartawan

1 293

INSTITUT Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakartaditetapkan sebagai satu dari tiga perguruan tinggi di Jakartayang dipercaya oleh Dewan Pers sebagai institusi yang nantinya punya kewenangan menguji kompetensi wartawan Indonesia.
Dua perguruan tinggi lainnya adalah Universitas Indonesia dan London School. Ketua Dewan Pers Bagir Manan menyerahkan sertifikat lembaga penguji kompetensi wartawan kepada IISIP dalam sebuah acara di Kampus Tercinta, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Selasa (18 Desember 2012).
Menurut Wina Armada, anggota Dewan Pers, IISIP ditetapkan sebagai lembaga penguji kompetensi wartawan setelah Dewan Pers melakukan verifikasi pada 5 Desember 2012.
Tanggal tersebut adalah kelahiran IISIP yang dalam perjalanan sejarahnya sempat berganti-ganti nama mulai dari Akademi Djurnalistik, Perguruan Tinggi Publisistik dan Sekolah Tinggi Publisistik.
Setelah diverifikasi, masih menurut Wina Armada, Dewan Pers akhirnya memutuskan IISIP sebagai lembaga penguji kompetensi wartawan pada 13 Desember 2012.
Mengapa IISIP yang dipilih? Wina mengungkapkan, IISIP yang kini berusia 59 tahun telah teruji dalam dunia pers, karena menghasilkan lulusan yang sebagian besar terjun berprofesi sebagai jurnalis andal. “IISIP memiliki tradisi panjang yang telah teruji, sehingga kami tidak ragu untuk segera menetapkan IISIP sebagai lembaga penguji kompetensi wartawan yang berlaku secara nasional,” kata Wina.
Rektor IISIP Maslina W Hutasuhut sebelumnya mengungkapkan, kurikulum yang diberlakukan di IISIP telah diakui dan diakreditasi pihak-pihak yang berkompeten. Menurut dia, menghasilkan wartawan yang unggul bukan perkara mudah. Oleh sebab itulah, IISIP banyak merekrut dosen praktisi (sebagian besar wartawan) untuk mengajar di perguruan tinggi ini.
Setelah IISIP menerima sertifikat sebagai lembaga penguji kompetensi wartawan, Maslina berharap para dosen yang nantinya dipercaya sebagai penguji agar melaksanakan amanah itu dengan baik dan bertanggung jawab.
Pihak kampus telah menunjuk saya dan beberapa teman sebagai penguji. Sebuah  kepercayaan, yang menurut saya, layak untuk dihargai dan dipertanggung jawabkan.
Kami juga telah berkomitmen untuk tegas dan tidak mempermainkan kepercayaan Dewan Pers dalam melakukan uji kompetensi para wartawan Indonesia. Konkretnya, kami tidak ingin IISIP sekadar lembaga stempel yang begitu mudah mengeluarkan sertifikat yang menyatakan seorang wartawan telah teruji kompetensinya. “Kalau memang belum kompeten sebagai wartawan, ya jangan diluluskan,” kata saya kepada Dedet Rohullah Bur yang juga ditetapkan sebagai penguji.
Dia bahkan mengungkapkan gagasannya, mahasiswa IISIP yang telah lulus menjadi sarjana dan nantinya akan bekerja sebagai wartawan, sebaiknya ikut dulu uji kompetensi wartawan. Sebab, kata Dedet, “boleh saja lulusan IISIP menyandang gelar sarjana komunikasi-jurnalistik, tapi belum tentu ia memiliki kompetensi sebagai wartawan.”
Faktanya, di lapangan, ketika pers telah menjadi industri dan informasi telah terbuka lebar – praktis tanpa batas –, siapa pun dengan gampang mengklaim dirinya sebagai wartawan/pewarta tatkala yang bersangkutan telah bekerja di “perusahaan-perusahaan” yang memproduksi berita/informasi. Siapa atau lembaga mana yang bisa mengontrol mereka? Siapa yang tahu kompetensi mereka?
Tidak bisa dimungkiri, stigma bahwa pers (baca: wartawan) adalah “pahlawan” kebebasan masih begitu kuat di masyarakat. Stigmatisasi ini tak urung membuat para pekerja pers (terutama wartawan) sombong dan kemudian “memproklamasikan” kebebasan yang dimilikinya tanpa batas.
Oleh sebab itu, saya menggarisbawahi apa yang disampaikan Ketua Dewan Pers Bagir Manan saat memberikan kuliah umum seusai menyerahkan sertifikat penguji kompetensi wartawan kepada IISIP. Bagir mengatakan, pers sebagai institusi politik, harus bisa menjalankan fungsinya sebagai alat kontrol dan pembentuk opini publik dengan baik. “Masyarakat dalam sebuah bangsa  akan runtuh jika pers terlalu bebas. Kebebasan pers tanpa batas bisa melahirkan tindakan anarkistis,” katanya.
(Ketua Dewan Pers Bagir Manan berbincang-bincang dengan 
Rektor IISIP Maslina W. Hutasuhut)

Jika kondisi seperti itu yang terjadi, Bagir mengingatkan, akan muncul tirani atau diktator baru yang sangat mungkin akan memenggal kebebasan pers. “Oleh sebab itu, kebebasan sebaiknya dihemat,” kata Bagir. Maksudnya, pers atau wartawan jangan terlalu memboroskan kebebasan yang dimiliki.
Bagir juga mengingatkan para wartawan jangan memelihara prasangka buruk saat menjalankan perannya sebagai pengontrol. “Masyarakat juga akan runtuh jika wartawan memelihara purbasangka.”
Bagir tidak menampik fakta, di saat pers berada di era industri, kepentingan bisnis kerap mengalahkan kepentingan idealisme. Karena kebutuhan SDM, perusahaan pers merekrut wartawan tanpa kriteria yang jelas. Di sinilah pentingnya uji kompetensi wartawan diberlakukan.
Selain perguruan tinggi (yang telah ditunjuk), lembaga lain yang juga berwenang melakukan uji kompetensi wartawan adalah organisasi wartawan, perusahaan pers (yang telah ditunjuk), dan lembaga-lembaga pelatihan pers.*** 
1 Comment
  1. Sultan Kata Isnainsyah says

    salam pak, saya sudah kirim email tugas UASnya ya pak. postingan yang ini yang saya jadikan referensi. sudah saya post juga di blog saya di http://bit.ly/uaspbsultan

    mohon dicek dan terimakasih pak ^^

Cancel Reply

Your email address will not be published.