Rumah Pengingat 50 Tahun Silam
MENGUNJUNGI kota Purwodadi (Jawa Tengah) dan singgah di rumah dinas kakek di Jalan Kartini, peristiwa masa kanak-kanak setengah abad lalu muncul kembali. Setiap libur sekolah, ayah membawa kami ke rumah yang terbuat dari papan tersebut. Rumah yang juga kerap dijadikan nenek sebagai “istana” bagi kucing peliharaannya dan ayam yang hampir selalu mematok koreng cucu-cucunya.
Melihat sosok rumah dinas pendeta – biasa disebut kapanditan – pada Senin 31 Desember 2012 lalu, semangat antiperubahan muncul dalam pikiran saya, lalu berharap, semoga kondisi rumah itu tetap bertahan seperti lebih 50 tahun yang lalu. Jangan ada renovasi. Biarkan rumah yang penuh kenangan itu seperti apa adanya, syukur-syukur bisa dijadikan monumen.
RUMAH kapanditan di Jl Kartini, Purwodadi Grobogan, Jawa Tengah, tidak banyak mengalami perubahan sejak 50 tahun lalu. Di rumah inilah Mbah Mangoen pernah tinggal.
Semoga catatan saya ini terbaca oleh pihak-pihak terkait, terutama Majelis atau Sinode Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU) yang sekarang menjadikan kapanditan itu sebagai GKJTU Jemaat Purwodadi.
Pada tahun 1960-1970-an, Yustinus Mangoentenojo, kakek kami, menempati rumah tersebut. Waktu itu Mbah Mangoen – begitu kakek kami biasa disapa jemaatnya – menggembalakan sebuah jemaat di Gereja Kristen Jawa Purwodadi. Saya tidak ingat organisasi induk gerejanya, Sinode Gereja Kristen Jawa yang berpusat di Salatiga, atau Sinode Gereja Kristen Jawa Tengah Utara. Namun, jika kapanditan yang dulu telah dialihfungsikan menjadi GKJTU, besar kemungkinan, Mbah Mangoen, dulunya adalah pendeta GKJTU.
Terserah, apa pun induk organisasi gereja tempat di mana Mbak Mangoen melayani, saya dan cucu-cucu Mbah Mangoen lainnya punya kenangan manis dengan rumah antik tersebut.
Halaman rumah tersebut di mata kami saat usia kami 4-6 tahun, sangat luas. Di halaman samping kiri, kami kerap bermain perang-perangan. Senjata mainan kami, kami buat dari pelepah pohon pisang. Dari pohon yang sama, kami juga sering memainkan ”orkestra”, dengan lebih dulu mencubit pohon pisang hingga muncul ”tali” atau ”senar”. Senar-senar inilah yang kemudian kami gesek dengan lipatan daun pisang hingga memunculkan bunyi ”ciat-ciut” atau ”ngak ngik nggok”.
Di halaman kanan rumah ada pohon asam yang setiap kami berlibur selalu berbuah. Di sekitarnya tumbuh pohon talas (lompong-bahasa Jawa). Kami sering menyiram daun talas tersebut dengan air, dan betapa senangnya kami jika beberapa detik kemudian air itu berubah menjadi kelereng-kelereng dan berjatuhan ke tanah dan tidak meninggalkan bekas apa pun di daun talas. Daun tetap kering.
Di halaman kiri rumah, tumbuh beberapa pohon mangga. Suatu hari manakala kami berlibur ke sana, pohon itu tengah berbuah, namun belum matang alias ”masih penthil”. Apa pun kondisinya, buah mangga yang bergelantungan di dahan itu tetap mengusik kami untuk memetiknya.
Dengan berbagai cara, kami berusaha mendapatkannya. Kami lempari mangga itu dengan batu. Cucu yang laki-laki membuat ketapel untuk menaklukkan buah mangga. Beberapa mangga terjatuh dan beramai-ramai kami makan. Banyak mangga yang kami dapatkan, bijinya belum bertempurung. Mangga seperti ini, rasanya pasti masam (kecut—bahasa Jawa) dan bisa membuat sakit perut bagi yang memakannya.
Entah dari mana ia mendapatkan info, Mbah Mangoen selalu mengetahui ulah kami, padahal ketika kami melakukan aksi ”mencuri” mangga, setahu kami, kakek sedang tidur siang. Lazimnya, Mbah Mangoen lantas memarahi kami. ”Eman-eman wetengmu (sayangilah perut kalian),” ujarnya di teras samping kiri.
Esoknya, ketika siang datang, Mbah Mangoen pasti menyuruh kami tidur. Perintah itu hanya kami turuti sebentar. Setelah rebahan di tempat tidur beberapa menit, kami beranjak dari tempat tidur, dan kembali memuaskan naluri kenakalan kami.
Rumah tersebut dan kami, juga sempat menjadi saksi saat anak keenam Mbah Mangoen (anak terakhir) atau tante kami, Sri Hardjanti, menikah dengan Om kami, Imam Semadi pada tahun 1961-an. Banyak saudara berkumpul. Di rumah, Mbah Mangoen mengundang band yang alat musiknya hanya gitar, bas betot, biola, dan ketipung.
Om-om kami pada malam pesta pernikahan itu juga menghibur kami dengan permainan yang dibuat dari kertas perak pembungkus rokok (kami menyebutnya kertas grenjeng). Kertas ditekuk-tekuk sedemikian rupa mirip torpedo (bom). Ujung torpdeo kemudian dilumuri ludah, lalu dilempar ke langit-langit yang terbuat dari seng. Ajaib (menurut pandangan kami yang saat itu berusia 4-6 tahun), mainan bom-boman itu menempel di atap hingga keesokan harinya.
Lagi-lagi, rumah kapanditan yang pada hari Senin 31 Desember 2012 saya sambangi itu (dan masih seperti dulu) punya kenangan tersendiri. Om dan Tante Imam Semadi (kami memanggil tante dengan sebutan Bulik Sri) yang kami rayakan pernikahannya itu bahkan sudah meninggal dunia lima tahun lalu.
Selain Mbah Mangoen, di GKJ Purwodadi, juga ada pendeta lain yang populer dengan panggilan Pak Tabri. Anak-anak Pak Tabri seusia dengan cucu-cucu Mbah Mangoen. Ada anak perempuan Pak Tabri yang seusia dengan saya, namanya Siti Tunggal Jati (kalau tidak salah). Saat saya menginjak remaja, nenek sering menjodoh-jodohkan saya dengan dia. Sampai sekarang, saya tidak tahu, seperti apa gerangan Siti Tunggal Jati dan tinggal di mana.
Rumah Pak Tabri bersebelahan dengan kapanditan yang ditempati Mbah Mangoen. Kondisi bangunan rumah Pak Tabri sekarang juga sama dengan ketika saya lihat 50 tahun lalu (lihat foto). Rumah panggung terbuat dari kayu, peninggalan Belanda. Berbeda dengan Mbah Mangoen, Pak Tabri saat itu punya mobil dinas, Land Rover warna abu-abu.
RUMAH Pak Tabri di Jl Kartini, Purwodadi, masih seperti dulu.
Saya berharap, rumah Pak Tabri sebaiknya tidak direnovasi, biarkanlah kondisinya seperti sekarang. Kalaupun direnovasi, jangan sampai mengubah bentuk.
Sungguh teramat sayang jika bangunan bersejarah itu dibongkar. Sangat bijaksana jika Sinode GKJ atau Sinode GKJTU melestarikan bangunan-bangunan tersebut, sama seperti negara/pemerintah memperlakukan Gereja Blenduk (Semarang) dan GPIB Imanuel (Gambir-Jakarta), atau Gereja Tugu (Jakarta).
Bangunan di sekitar rumah Pak Tabri dan kapanditan, hampir semuanya telah berubah bentuk. Rumah di sudut Jalan Kartini di depan rumah Pak Tabri saat saya berkunjung ke Purwodadi di hari terakhir tahun 2012 itu sedang direnovasi menjadi rumah modern. Saya masih ingat betul, suatu malam, saya pernah diajak kakak tertua saya, Ruri Arundati, bertandang ke rumah ini hanya untuk mewujudkan rasa ingin tahu, seperti apa itu makhluk jailangkung yang katanya bisa berkomunikasi dengan manusia, padahal modal atau raganya hanya siwur (gayung terbuat dari batok kelapa) dan kapur untuk menuliskan sesuatu.
Karena sudah beralih fungsi menjadi bangunan gereja, kamar-kamar rumah kapanditan yang dulu kami tempati tentu sudah tidak ada lagi. Di kamar-kamar ini, lebih dari 50 tahun lalu, nenek membiarkan kucing-kucing peliharaannya ikut tidur malam. Di kamar, nenek bahkan menyediakan toilet khusus buat kucing kesayangannya.
Toilet kucing yang disediakan nenek adalah kotak terbuat dari papan dan di dalamnya ditaburi pasir. Pagi-pagi, lazimnya, (maaf), tahi kucing sudah ada di sana. Saat kami mendapat perintah dari nenek untuk membuang kotoran kucing, kami beramai-ramai menolak dengan berbagai alasan.
Meskipun sudah berubah fungsi, jendela yang terletak di bagian depan, masih seperti dulu. Di depan jendela, dulu ada tiang bendera lengkap dengan kerekan tali. Kami sering menjadikan tiang bendera itu untuk mengerek sepatu-sepatu kami.
Berbeda dengan kapanditan dan rumah Pak Tabri yang masih seperti dulu, bangunan gereja yang kini digunakan beribadah bagi warga GKJ Purwodadi sudah berubah bentuk. Jika 50 tahun lalu, dindingnya masih terbuat dari papan, kini telah berganti dinding bata.
Setengah abad lalu, saya masih suka bergelayutan di tambang sebesar lengan anak-anak, hanya untuk satu tujuan agar lonceng gereja bergerak dan memunculkan bunyi. Tapi, meskipun saya dan cucu Mbah Mangoen lain sudah bergelayutan, lonceng itu tak juga berdentang saking beratnya.
Di gereja inilah, Mbah Mangoen melayani jemaat GKJ Purwodadi lebih dari lima tahun hingga meninggal dunia pada tahun 1970. Sebelum dimakamkan, jenazah Mbah Mangoen disemayamkan di gereja ini dan diantar ribuan jemaat dan angggota masyarakat Purwodadi ke pemakaman.
Banyak cerita beredar, Mbah Mangoen dikenal sebagai pendeta sakti. Purwodadi dikenal sebagai daerah yang tandus dan jarang disiram hujan. Saat para petani di salah satu desa di Purwodadi frustrasi karena hujan tidak kunjung datang, mereka minta Mbah Mangoen berdoa agar Tuhan mengirim hujan. Setelah Mbah Mangoen selesai memanjatkan doa, hujan pun turun.
Ke Purwodadi hari Senin 31 Desember 2012 lalu, saya mengajak istri dan anak-anak, agar anak-anak tahu asal muasal orang tua mereka. Ayah saya dan saya lahir di kota ini. Setelah lulus dari sekolah perawat, ibu mereka juga bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Panti Rahayu (Yakkum). Yang memberi nama rumah sakit ini juga Mbah Mangoen. Lengkap sudah nostalgia.***
salam kenal 🙂
pemuda GKJTU Pamongan
klasis Purwodadi
salam kenal 🙂
Pemuda GKJTU Pamongan
Klasis Purwodadai