Pendeta Itu Bilang: “Yesus pun Memikirkan Politik”

1 307
SIKAP gereja yang netral terhadap partai politik setiap pemilu akan digelar, di satu sisi membawa pengaruh positif (jemaat gereja tetap utuh), tapi di sisi lain menyulitkan bagi caleg Kristen untuk menjaring suara melalui komunitasnya di gereja.

Sikap gereja itu kembali ditegaskan ketika Forum Umat Kristiani Indonesia (FUKRI) mengadakan seminar/diskusi bertema “Peranan Gereja Membangun Politik Bersih dan Berkualitas dalam Pemilu 2014” di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Mawar Saron, Kelapa Gading, Jakarta, Senin (10 Februari).

Saya sengaja menyempatkan hadir dalam seminar itu, sebab banyak tokoh penting yang berbicara dalam seminar tersebut sebagai nara sumber, yaitu: Ketua Umum PGI  Pdt Dr Andreas A. Yewangoe, Ketua Umum Persekutuan Gereja Pantekosata Indonesia Pdt Dr Yacob Nahuway, Sekretaris Eksekutif Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Romo Edy Purwanto, pengamat politik CSIS J. Kristiadi, pengamat politik dari Universitas Indonesia Boni Hargens, dan pengamat politik/sosial Jenderal TNI (Purn) Luhut Panjaitan. Hadir di seminar tersebut para caleg Kristen dari sejumlah partai politik.

Para pembicara di atas senada seirama mengatakan bahwa gereja harus netral, tidak boleh memihak kepada salah satu partai politik peserta pemilu. Gereja harus mengayomi semua partai politik, juga para caleg dan calon presiden dari partai mana pun sepanjang para caleg dan calon presiden konsisten untuk tetap  menjaga kesatuan dan persatuan Indonesia, serta menjadikan negeri ini ke depan lebih baik.

Namun, dari para pembicara di atas, saya menangkap ada ketidakkonsistenan sikap yang ditunjukkan Pdt Yacob Nahuway. Dia mengatakan bahwa masyarakat Indonesia sekarang ini sedang mengalami kekecewaan yang sangat besar, karena masih ada diskriminasi politik dan ketidakadilan, padahal seharusnya tujuan akhir politik adalah kesejahteraan masyarakat dan bangsa. Yesus pun, menurut Yacob, memikirkan politik, tapi tidak menjadi politikus. “Oleh sebab itu pendeta sebaiknya jangan jadi caleg,” katanya.

Pdt Yacob Nahuway
Boleh jadi karena memegang prinsip itulah, Yacob dalam seminar yang berlangsung hingga pukul 15.00 tersebut menunjukkan bahwa ia juga memikirkan politik dengan mengatakan: “Negeri ini masih memerlukan seorang pemimpin yang berlatarbelakang militer, punya sikap tegas, pluralis, dicintai rakyat, harus kaya sehingga tidak lagi memikirkan uang saat berkuasa, punya visi misi dan program yang jelas.”

Alasan Yacob bahwa negeri ini masih perlu seorang pemimpin berlatarbelakang militer, sebab menurut dia, hanya seorang tentaralah yang berani mengeluarkan perintah “tembak” bagi pengacau negara dan kemudian dituruti anak buahnya. “Pemimpin sipil tidak mungkin melakukannya,” kata Yacob.

Siapa calon pemimpin (presiden ?) berlatarbelakang militer sebagaimana dimaksud Yacob? Selama ini, calon presiden (capres) berlatarbelakang militer yang digadang-gadang adalah Wiranto (Hanura) dan Prabowo (Gerindra).

Cukup mengejutkan, setelah membuat peserta seminar penasaran, Yacob berterus terang bahwa orang berlatarbelakang militer yang dimaksudkannya adalah Prabowo Subianto.

Mendengar kata “Prabowo”, Luhut Panjaitan minta agar pemimpin gereja berhati-hati dalam menentukan sikap dan memberikan dukungan. Para pemimpin gereja, kata dia, sebaiknya realistis dan mengikuti setiap perkembangan yang terjadi di masyarakat.

Luhut lalu mengungkapkan hasil survei yang disebutnya menggunakan software intelijen bahwa dalam Pemilu 2014 tanggal 9 April nanti diperkirakan hanya 8 (delapan) dari 12 parpol peserta pemilu yang lolos ke Senayan (DPR). Penentu ke delapan partai itu lolos ke Senayan adalah para pemilih muda (62%) yang rata-rata berusia 17-21 tahun.

Luhut Panjaitan
Para penentu kemenangan partai-partai tersebut, menurut data intelijen yang dimiliki Luhut, lebih dari 50% merindukan pemimpin yang jujur, mencintai rakyatnya dan tidak korupsi. Dihadapkan pada sosok/tokoh, menurut Luhut Panjaitan, sebanyak 55% menghendaki Jokowi menjadi presiden. Jika PDIP mencalonkan Jokowi sebagai presiden, masih menurut survei yang dilakukan Luhut menggunakan “software” intelijen, maka PDIP bakal mendapat suara pada pemilu nanti berkisar 35%-40%.

Persoalannya, akankah PDIP mengajukan nama Jokowi sebagai capres? Pasalnya, sampai sekarang, PDIP secara resmi belum mencalonkan siapa pun menjadi presiden. Jokowi sendiri enggan berkomentar jika namanya dikait-kaitkan dengan capres.

Lalu bagaimana jika PDIP tidak mencalonkan Jokowi dan si Jokowi tidak mau jadi capres? Sangat mungkin, apa yang diharapkan Pdt Yakob Nahuway bakal terwujud. Luhut Panjaitan terang-terangan mengatakan: “Tanpa Jokowi, Prabowo yang akan menang.”

“Peta” politik Indonesia ke depan mendekati pemilu apakah sesederhana (hitam putih) seperti itu? Belum tentu. Berbagai kemungkinan, sebagaimana diungkapkan Luhut, masih bisa terjadi, sehingga jangan sampai pemimpin gereja salah mengarahkan jemaatnya.

Soal paradigma bahwa ketegasan hanya dimiliki oleh seorang pemimpin negara yang berlatarbelakang militer, menurut Luhut, juga tidak selamanya benar. Banyak pemimpin sipil yang juga bisa bertindak tegas. Jokowi misalnya bisa sangat tegas ketika warga Lenteng Agung memprotes agar Jokowi mengganti lurah Susan hanya gara-gara Susan bukan penganut Islam.

Saya juga pernah mendengar ada pemimpin parpol yang kebetulan memiliki stasiun televisi berita yang begitu tegas dengan tidak memberi tempat kepada pemimpin ormas intoleran yang kerap membuat onar di pelosok negeri untuk tampil di televisinya. Yang bersangkutan bukannya diskriminatif terhadap pemimpin ormas tersebut, tapi karena ia lebih mementingkan pluralisme dan perdamaian. Ia tidak mau medianya dimanfaatkan sebagai corong bagi pemimpin ormas tersebut untuk menyuarakan intoleransi.

Oleh sebab itu, lagi-lagi Luhut Panjaitan mengingatkan agar pemimpin gereja terus mengikuti perkembangan politik di Tanah Air. Jangan pertaruhkan salib Kristus untuk kepentingan sesaat. Mendukung calon presiden boleh-boleh saja, tapi harus melihat situasi dan kondisi. “Sebab kalau hasilnya nanti berbeda dengan apa yang selama ini didoakan oleh pendeta, malah bisa malu dengan jemaat,” begitu kata Luhut.

Sebelumnya Ketua Umum PGI Yewangoe juga mengatakan umat Kristen (gereja) tidak mendikotomikan kelak Indonesia ini akan dipimpin orang berlatar belakang militer atau sipil; Kristen atau bukan Kristen. Begitu pula, gereja tidak membeda-bedakan caleg Kristen atau bukan Kristen. 

Dalam pemilu, menurut Yewangoe, gereja juga tidak memandang caleg atau capres beretnis apa. Ia malah minta kepada para caleg Kristen jangan coba-coba memanipulasi agama (Kristen) demi kursi di DPR, apalagi mempolitisasi ayat-ayat suci. “Jangan bakar emosi pemilih dengan agama dan ayat-ayat Alkitab,” tegasnya.

Gereja, menurut Yewangoe, berkepentingan para caleg Kristen bisa terpilih tanpa suap dan sogok meskipun dengan risiko tidak terpilih. Keteladan untuk menjunjung tinggi moral dan etika seperti inilah yang diharapkan gereja.

Lalu bolehkah orang Kristen bersikap golput (tidak memilih) dalam Pemilu 2014? Meskipun golput adalah demokrasi, Yewangoe menyarankan agar umat Kristen pada Pemilu 2014 menggunakan hak pilihnya dengan hati nurani. Menurut dia, golput sesungguhnya adalah demokrasi yang membunuh demokrasi.   

Senada dengan Yewangoe, Sekretaris Eksekutif KWI Edy Purwanto menambahkan, jika kita golput, itu berarti sama saja kita menyerahkan atau mempertaruhkan suara kita ke orang lain. Dia minta agar orang-orang Kristen mempelajari dengan serius para caleg yang kelak akan mewakili mereka di DPR.

Gereja sebagai institusi dan lembaga, kata Edy Purwanto, tidak bisa mengarahkan warganya harus memilih partai atau caleg-caleg tertentu, sebab gereja dan pemimpin gereja harus netral. “Gereja harus mampu memberi naungan, baik kepada para caleg, maupun calon presiden kelak,” katanya.

Lalu bagaimana agar para caleg Kristen bisa terpilih? Pengamat politik dari CSIS Kristiadi minta agar para caleg Kristen punya grand design untuk membangun karakter bangsa, dan tetap mampu menjaga martabat. Secara bergurau, Kristiadi mengatakan, bagaimana bisa menjaga martabat kalau para caleg memasang  gambar dengan cara ditempelkan di pohon-pohon berdampingan dengan iklan obat kuat, jasa gali sumur dan sedot WC. “Janganlah rendahkan martabat caleg seperti itu,” katanya.

Boni Hargens hanya berharap agar para caleg Kristen kelak jika terpilih mampu membawa perubahan terhadap negeri ini ke arah yang lebih baik. “Yesus sudah melakukan perubahan, maka para caleg Kristen juga dituntut harus bisa membuat perubahan,” kata Boni seraya mengingatkan bahwa di Indonesia sekarang ini ada kartel politik yang harus dilawan dengan kekuatan civil society.

Tak urung, seminar yang dibuka sejak pukul 10.00 itu tidak memberikan kepuasan kepada beberapa caleg. “Saya datang ke seminar ini untuk mendapatkan dukungan gereja. Bahwa gereja harus netral tidak boleh ini dan itu, saya sudah tahu. Yang kami butuhkan adalah dukungan konkret dari gereja apa?” kata seorang caleg dari PDIP.

Caleg ini mengungkapkan hal itu, sebab seperti awal catatan ini, sulit bagi caleg Kristen untuk mendapatkan suara signifikan di daerah pemilihan yang heterogen, seperti di Banten misalnya. Dia mengalkulasi, jumlah penduduk Banten 5,2 juta. Untuk mendapatkan satu kursi di Banten III misalnya, sebuah partai politik paling tidak harus mengumpulkan paling sedikit 300.000 suara. Jumlah kursi di Banten III yang diperebutkan ada 10.

Caleg tadi kemudian memerkirakan partai-partai yang bakal lolos ada 8 parpol, sementara caleg Kristen di dapil tersebut ada 11 orang: Satu (1) caleg di Golkar, PDIP (3), Gerindra (4), dan NasDem (1). Dia memperkirakan dalam pemilu nanti Partai Golkar dapat dua (2) kursi, PDIP (2), sedangkan Partai Demokrat, PPP,  PKS, Gerindra, Hanura dan NasDem masing-masing dapat satu kursi. Melihat komposisi seperti ini, maka hampir dapat dipastikan tak satu pun caleg Kristen di Dapil Banten III yang bisa mewakili umat Kristen duduk di DPR.

Namun, jika umat Kristen di sini sepakat dengan apa yang dikatakan Ketua Umum PGI Yewangoe bahwa gereja tidak mendikotomikan caleg berdasarkan agama (Kristen atau bukan Kristen) tapi yang penting bermoral, maka siapa pun yang nanti terpilih bukanlah masalah. Yang penting adalah bagaimana DPR nanti diisi oleh orang-orang baru yang belum dan tidak akan mengenal korupsi.

Persoalannya lagi, sebagian besar (95%) anggota DPR kini mencalonkan kembali menjadi anggota DPR. Masyarakat Indonesia dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit dan sedikit. Dari 12 partai, cuma ada satu  partai yang benar-benar nol pengalaman ikut pemilu, yaitu NasDem. Sayang memang.


Akhirnya, semua itu terpulang kepada para pemilih, bisa tidak menggunakan hak pilihnya dengan hati nurani, tidak salah memilih partai dan orang (caleg). Cuma unsur ini yang memungkinkan caleg Kristen terpilih dan dapat kursi di DPR. Inilah yang namanya mujizat.[]  
1 Comment
  1. Anonim says

    Pemimpin gereja terlihat masih gamang, tak jelas panduan timing kapan pelita sebaiknya dinyalakan, ada yg terkesan (maaf) seperti penjilat bahkan.

Leave A Reply

Your email address will not be published.