Wow, ‘Sang Ayah’ Berusia 13 Tahun Saat Jokowi Lahir
MARI kita jujur, seandainya Anda dipercaya menjadi calon presiden (capres) dan kemudian difitnah serta dijelek-jelekkan seperti yang dialami Joko Widodo (Jokowi), siapkah Anda?
Kalau pertanyaan itu ditujukan kepada saya atau saya menjadi Jokowi, saya akan jujur mengatakan: “Saya tidak siap!”
Mengapa? Bayangkan, Jokowi sekarang ini oleh mereka yang tidak senang dia menjadi presiden – bahkan ketika saat dicapreskan – dianggap sebagai “pendosa” nomor satu di Indonesia, sehingga layak ditenggelamkan atau dicampakkan dengan berbagai cara yang muaranya adalah jangan sampai Jokowi memimpin negeri ini.
“Peluru tajam” yang diberondongkan oleh mereka yang tidak suka dengan Jokowi adalah SARA, seperti Jokowi keturunan Tionghoa, Kristen dan semacamnya. Padahal apa yang salah dengan Tionghoa dan Kristen? Dua kelompok minoritas tersebut di negara Pancasila ini seolah dianggap sebagai barang haram yang sah untuk dijauhi dan mereka yang tidak suka harus mencuci tangan tujuh kali jika sengaja atau tidak sengaja menyentuhnya.
Perlakuan mereka yang anti terhadap Jokowi itu terkadang amat keterlaluan. Beberapa hari lalu beredar iklan dukacita yang sengaja disebarkan melalui sosial media yang isinya seolah-olah Jokowi meninggal dunia dengan nama Herbertus Joko Widodo (Oey Hong Liong). Sang pemasang iklan dikesankan adalah sang istri, Iriana Widodo.
Sosial media adalah media komunikasi yang sangat ampuh untuk bermanuver dan menebar fitnah bernuansa SARA dengan risiko sangat minim.
Sasaran tembak fitnah melalui sosial media (sosmed) belakangan ini memang Jokowi, apalagi yang dijadikan sasaran tembak tak pernah melakukan serangan balasan, kecuali para pembela (relawan) Jokowi yang Jokowi sendiri juga tidak mengenalnya.
Sekjen PDIP Tjahjo Kumolo mencatat sedikitnya setiap hari ada 20 kampanye hitam yang ditujukan kepada Jokowi. Ada yang langsung direspons lewat sosmed, ada juga yang dibiarkan, karena mengandung SARA. “Biarlah masyarakat yang menilai sendiri,” kata Tjahjo.
Beruntung, masyarakat sudah dewasa dan cerdas, sehingga bisa membedakan mana info yang benar-benar cerdas dan info dari musuh Jokowi yang membuat masyarakat tertawa, karena kebodohan si pelempar isu miring tentang Jokowi.
Bagaimana kita tidak tertawa dengan ulah mereka yang mengatakan bahwa Jokowi keturunan Tionghoa dan anak dari seorang Tionghoa bernama Oei Hong Leong.
Penasaran dengan asal usul Jokowi, koran Solopos kemudian melacak. Hasilnya: Oei Hong Leong adalah miliuner kelahiran Indonesia yang memiliki kekayaan yang sebagian besar dalam bentuk portofolio obligasi korporasi.
Forbes.com membritakan, kekayaan Oei Hong saat ini US$745 juta atau Rp 8,58 triliun. Dia menjadi orang terkaya ke-32 di Singapura pada tahun lalu. Dia berencana untuk membangun kembali situs tepi laut besar di Vancouver, Kanada.
Oei Hong Liong adalah anak konglomerat Indonesia Eka Tjipta Widjaja (pemilik Grup Sinar Mas). Belakangan nama Jokowi sering disebut-sebut dengan “bin Oei Hong Leong).”
Oei yang berkewarganegaraan Singapura itu, menurut Solopos, kini berusia 66 tahun. Saat ini Jokowi berusia 53 tahun. Jika memang Jokowi adalah anak Oei Hong Leong, berarti Oei Hong Leong sudah punya anak sejak umur 13 tahun.
Artinya saat Jokowi “nyeprot” lahir ke dunia, bapaknya masih praremaja, sang ibu jangan-jangan masih berusia 10 tahun. Ada-ada saja.
Jauh sebelumnya saat menjelang pemilu legislatif, di Facebook juga dilempar isu berupa seruan “adu domba” dari sebuah organisasi gereja (Kristen) yang intinya agar umat Kristen jangan golput dan menjatuhkan pilihan ke PDIP, karena di PDIP ada 183 caleg yang beragama Nasrani (catatan penulis: padahal di kalangan Kristen tidak dikenal istilah Nasrani).
Dalam seruan itu, para pemilih Kristen juga diminta agar mengajak saudara-saudarnya yang Islam untuk memilih PDIP agar perolehan kursi bagi caleg Islam berkurang. Di dalamnya juga ada ajakan agar umat Kristen menyebarkan isu poligami dan korupsi yang melibatkan banyak politisi Islam. Juga persepsikan kepada masyarakat bahwa Jokowi simbol pemimpin masa depan.
Seruan palsu itu tentu dimaksudkan agar umat Islam antipati bahkan membenci saudara-saudaranya yang Kristen.
Membaca seruan itu, saya tentu tertawa, sebab setahu saya, organisasi gereja tidak pernah berpolitik atau menganjurkan hal-hal seperti di atas. Gereja sangat tahu diri dan tidak pernah mengizinkan caleg yang Kristen untuk berkampanye dalam bentuk apa pun di gereja.
Yang membuat saya lebih geli, si pemfitnah tidak mengikuti perkembangan zaman, sebab lembaga gereja yang ditulis adalah Dewan Gereja-Gereja Indonesia (DGI). Padahal nama DGI sudah berganti menjadi PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia) sejak tahun 1980-an. Oala, Mas, kalau mau memfitnah dan mengadu domba sebaiknya belajar dulu.
Belum kapok dengan manuver seperti itu, para pembuat onar di sosial media juga menyebarkan fitnah (kali ini benar menggunakan nama PGI) yang intinya bisa mengundang kecurigaan kelompok Prabowo kepada kelompok Jokowi.
Tersebutlah sekelompok aktivis dan elemen masyarakat yang terafiliasi dalam Gerakan Kebhinekaan untuk Pemilu Berkualitas (GKPB) yang menolak pencapresan Prabowo Subianto. Selain menolak, mereka juga mengajak masyarakat Indonesia untuk tidak memilih Ketua Dewan Pembina Gerindra tersebut.
Siapa atau organisasi apa saja yang tergabung dalam GKBP? Disebutkan, di antaranya Jaringan Masyarakat Sipil untuk Perdamaian (JMSP) Aceh, Aliansi Dame Timor NTT, Our Indonesia Yogyakarta, Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), LBH Jakarta, The Indonesian Legal Resources Center (ILRC), Abdurrahman Wahid Center, Universitas Indonesia, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Komnas Perempuan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), AMAN Indonesia, dan Human Rights Working Group (HRWG).
Di sana disebutkan ada Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) yang sekali lagi berdasarkan sepengetahuan saya tidak pernah berpolitik, apalagi jelas-jelas mendukung atau tidak mendukung calon presiden.
Jika pun membuat pernyataan penting menyangkut kenegaraan, PGI selalu bermitra dengan para sahabatnya, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Walubi dan organisasi keagamaan lain yang diakui negara.
Dalam hari-hari ini, saya pastikan perang manuver lewat jejaring sosial masih akan ramai dengan info-info menyesatkan. Semoga kubu para calon presiden (siapa pun mereka), bisa menahan diri dan tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Mari kita berdemokrasi secara elegan, jangan lebay dan alay. Jangan permainkan agama untuk aksi kebencian.[]