Etika Bermedia, KPK dan Tim 9 Menyandera Jokowi
BERBICARA adalah hak setiap orang. Demikian pula, memanfaatkan media massa adalah hak siapa pun selama wartawan mau melayani orang yang akan menyampaikan isi pernyataan, meskipun di balik pesan ada motif dan tujuan tertentu.
Diakui atau tidak, pers (media massa) di Indonesia belakangan ini – dimulai sejak reformasi – berada di atas angin dan punya pengaruh luar biasa dalam rangka pembentukan opini publik. Sayangnya, awak media sering tidak sadar telah dimanfaatkan pihak-pihak tertentu guna menyalurkan hasratnya untuk berkuasa dengan cara atau jalan pintas.
Diakui atau tidak, Joko Widodo (Jokowi) akhirnya terpilih menjadi presiden, juga berkat pemberitaan pers yang bersimpati kepadanya. Sebaliknya, jika ia tidak lihai berkomunikasi dengan pers, ia juga bakal ditinggalkan media, apalagi ada sementara pihak yang memusihinya (mungkin) sangat lihai bagaimana memanfaatkan keampuhan media.
Merasa cukup menyampaikan pesan melalui media massa, para komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menganggap enteng koordinasi dan komunikasi (lisan atau tertulis) dengan Presiden saat lembaga antirasuah itu menetapkan Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka kasus rekening jumbo. Ketua Komisi KPK Abraham Samad dan kawan-kawan tampaknya sudah merasa cukup menyampaikan temuannya soal BG melalui konferensi pers yang dihadiri ratusan wartawan.
Para komisioner KPK tampaknya sudah melegitimasi bahwa konferensi pers yang disiarkan secara live di stasiun televisi harus dipahami dan diakui oleh siapa pun, termasuk Presiden. Artinya, saat itu KPK hendak memberitahu kepada Jokowi bahwa pencalonan BG sebagai Kapolri sebaiknya dibatalkan.
Lantas mengapa DPR membiarkan proses fit and proper test atas BG berlangsung? Secara konstitusi, DPR memang berkewajiban melakukan uji kepatutan kepada BG, sebab hingga hari H fit and proper test, DPR tidak menerima surat dari Presiden yang menarik atau membatalkan pencalonan BG sebagai Kapolri.
Pada saat itu, Jokowi juga tidak mungkin mengirim surat pembatalan pencalonan BG ke DPR, sebab Presiden tidak menerima surat pemberitahuan dari KPK bahwa BG telah berstatus tersangka. Apa dasar hukumnya Jokowi menarik atau membatalkan pencalonan BG?
Jika Jokowi proaktif nekat membatalkan pencalonan BG hanya mendasarkan info dari nonton televisi, tentu menyalahi aturan atau tata kelola pemerintahan. Jokowi bisa dijadikan bulan-bulanan DPR jika saat itu ia menarik atau membatalkan proses pencalonan BG yang “sumber hukumnya” dari konferensi pers komisioner KPK yang disiarkan televisi.
Oleh sebab itu, sebenarnya masyarakat saat itu tidak berhak marah kepada Jokowi yang mendiamkan kasus tersebut. Demikian pula masyarakat tidak punya hak untuk marah kepada DPR yang kemudian memproses pencalonan BG menjadi Kapolri dan memberikan rekomendasi agar Jokowi segera melantik BG. Masyarakat seharusnya marah kepada KPK yang mengabaikan tata krama bernegara.
Maaf, “pelanggaran” etika berkomunikasi juga dilakukan Tim 9 yang ditugasi Presiden mengurai kasus perseteruan Polri-KPK. Kita layak acungi jempol atas kinerja mereka, sebab tidak sampai sepekan, mereka sudah mengerjakan apa yang diminta Presiden Jokowi dan memberikan rekomendasi berisi lima butir, satu di antaranya adalah menyarankan agar Jokowi tidak melantik BG sebagai Kapolri.
Namun disayangkan, Ketua Tim 9, Syafi’i Maarif “membocorkan” hasil kerja timnya kepada media. Logikanya, Tim 9 bertanggung jawab kepada Presiden yang memberi mandat, bukan kepada publik. Oleh sebab itu selayaknya lima rekomendasi itu disimpan rapat-rapat sebelum maupun setelah diserahkan ke Presiden. Dengan demikian biar Jokowi sendiri yang mengumumkan hasil kerja Tim 9 kepada publik lewat media (pers).
Informasi yang disampaikan Syafi’i Maarif kepada publik melalui pers bahwa Tim 9 merekomendasikan supaya Jokowi tidak melantik BG bisa diartikan bahwa Tim 9 memaksa Presiden agar tidak melantik BG sebagai Kapolri, padahal dalam kasus ini, melantik atau tidak melantik BG sepenuhnya ada di tangan Presiden.
Tim 9 yang memanfaatkan media untuk mengumumkan lima rekomendasi kasus KPK-Polri jelas menyulitkan posisi Jokowi, apalagi Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) juga memberikan rekomendasi soal itu yang belum tentu sama dengan saran Tim 9.
Tidak bisa dimungkiri di era keterbukaan informasi seperti sekarang, pers memang punya pengaruh ampuh guna menggiring opini publik. Fakta ini benar-benar dimanfaatkan para politikus. Coba amati acara-acara talk show di televisi berita, begitu mudahnya awak redaksi televisi menghadirkan nara sumber. Meskipun sang nara sumber super sibuk, toh bisa hadir di studio atau di lokasi tertentu untuk keperluan wawancara, baik pagi, siang atau larut malam.
Keampuhan media itulah yang juga dimanfaatkan Plt Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto saat mengungkapkan lobi-lobi politik yang dilakukan Ketua KPK Abraham Samad yang disebut berambisi menjadi calon wakil presiden.
Kasus Samad sebenarnya sudah diungkap “kawan” Hasto lewat media sosial (citizen journalism Kompasiana), tetapi efeknya kurang menggigit. Setelah Hasto mengungkapkan kasus itu dan mendapat liputan luas pers, barulah kasus Samad tersiar secara massif, sehingga para penggiat antikorupsi berpikir ulang saat akan membela Abraham Samad. Ah, ternyata Samad memanfaatkan lembaga KPK untuk berpolitik.[]