Catatan Gantyo

Hoax dan Koloni Vampire

0 268

INFORMASI sesat (hoax) dan fitnah kini telah menjadi “makanan” sehari-hari, khususnya mereka yang (maaf) bodoh. “Ini tahun yang mengerikan dalam hal penyebaran kabar sesat,” tulis majalah berita Tempo dalam kolom opini untuk mengantarkan laporan utamanya edisi terbaru: “Wabah Hoax”.

Prasangka, hasutan, kebencian, ketidakpercayaan, dan fitnah kini menjadi “santapan rohani” yang sangat nikmat sedap bagi kaum bersumbu pendek.

Banjir info itu, celakanya, menurut Tempo, tidak diimbangi peningkatan daya kritis. Akibatnya, tidak sedikit yang mudah terpancing judul-judul provokatif lalu menyebarluaskan tanpa tahu betul isi tulisan.

Merekalah yang disebut dengan istilah clicking monkey, monyet yang bersukaria melempar pisang ke segala arah.

Namun, teman saya Eko Kuntadhi (netizen), menyebut mereka sebagai vampire.

Membaca laporan utama majalah berita itu, akhirnya kita — setidaknya saya — menjadi paham bahwa selama ini kita “dikadalin” oleh para operator situs “abal-abal” karena mereka menghidangkan hoax semata-mata demi uang.

“Saya pilih oposisi, makanya saya provokatif mengkritik pemerintah. Ada kepuasan menyampaikan kritik. Perang informasi di internet bagi saya seru,” kata Hamdi Mustapa, pendiri postmetro dot info.

Situs model postmetro itulah yang sampai saat ini gencar memelintir judul berita media mainstream dan menebar berita palsu yang langsung ditelan para vampire.

Eko Kuntadhi menyebut kaum bersumbu pendek itu sebagai koloni vampire di dunia media sosial (medsos).

Di Indonesia, menurut Eko, pengguna medsos itu ada dua jenis: orang normal dan vampire. Mereka yang normal hidup dalam alam terang benderang. Informasi yang dipercayainya, yang jelas sumbernya dan yang masuk akal.

Sementara kaum Vampire hidup di ruang gelap gulita. Mereka mempercayai informasi dari sumber abal-abal, jauh dari akal sehat, dan yang paling kentara, penuh kebencian.

Berikut tulisan lengkap Eko Kuntadhi: “Orang normal percaya, masalah tenaga kerja ilegal memang ada. Itu masalah keimigrasian biasa. Kalau melanggar dan ketahuan, orangnya ditangkap lalu dipulangkan. Ada 700 tenaga kerja ilegal asal China yang sudah dipulangkan pada 2016.

Sedangkan vampire percaya ada 10 juta TKA RRC yang datang ke Indonesia. Soal mereka datangnya naik apa, lewat bandara mana, kerja di mana, itu gak perlu dipikirin. Jika satu pesawat berisi 200 orang, setidaknya butuh 50.000 penerbangan. Eh, busyet. Mereka yakin 50.000 penerbangan full penumpang tidak terdeteksi kantor imigrasi.

Orang waras percaya, sebagai sebuah ideologi, komunis sudah bangkrut. Tembok Berlin ambruk dan Jerman kini bersatu. Uni Sovyet bubar. China malah jadi kapitalis. Begitupun PKI, sudah lama habis. Anak muda sekarang tidak lagi kenal PKI. Mereka lebih kenal PKS.

Sedangkan vampire yakin, PKI akan bangkit lagi di Indonesia. Anggotanya ada 15 juta, jauh lebih banyak daripada pemilih PKS pada pemilu lalu. Alasan bangkitnya PKI, ditemukan empat kaos oblong bergambar palu arit. Cuma empat lembar kaos.

Orang waras percaya, untuk mengamankan pencetakan uang, dibutuhkan teknik security printing. Makanya logo BI pada uang baru dibuat sedemikian rupa.

Vampire percaya itu adalah gambar palu arit yang disamarkan. Padahal jika dilihat sekilas, logo BI yang terlihat saparuh tersebut, lebih mirip lambang apotek (ular melilit gelas), ketimbang gambar palu arit.

Orang normal percaya, Indonesia dibangun oleh tokoh dari berbagai suku dan agama. Selain pribumi tokoh berdarah Arab dan Tionghoa juga ikut berkeringat membangun pondasi kebangsaan. Mereka beragama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Kejawen, dan penganut agama budaya.

Sementara vampire mengklaim yang berjasa membangun bangsa ini agamanya cuma Islam. Selain Islam, mereka penjahat.

Orang waras percaya Indonesia sedang berada pada track pembangunan yang benar. Akhir tahun ini Bloomberg bahkan menganugerahkan Indonesia dengan nilai terbaik se-Asia-Australia.

Sedangkan vampire teriak-teriak Indonesia sedang menjelang kiamat. Mereka lebih percaya ocehan Jonru ketimbang data Bloomberg.

Orang waras meyakini Pancasila dan demokrasi adalah jalan paling rasional di Indonesia. Dengan perangkat itulah rakyat bisa terjamin hak hidupnya dan akan lebih sejahtera.

Sedangkan vampire cuma punya satu jawaban yaitu khilafah. Ketika ditanya mana contoh negara yang menerapkan khilafah yang rakyatnya makmur, mereka cuma nyengir. Vampire yang bisanya cuma nyengir, mungkin sedang sariawan.

Orang waras percaya, Jakarta di bawah Ahok jauh lebih maju dibanding sebelumnya. Kali bersih, birokrasi melayani, korupsi diperangi dan kesejahteraan meningkat. Taraf hidup masyarakat Jakarta, yang sebagian besar umat Islam juga lebih baik.

Sementara vampire berusaha sekuat tenaga menghapus semua hasil itu. Mereka menggelapkan informasi keberhasilan pembangunan Jakarta dengan isu agama. Dengan dalih agama dan tekanan massa itu juga mereka hendak memenjarakan Ahok.

Orang normal sedih jika ada terorisme. Kita berterimakasih pada Polri ketika mereka berhasil menangkap para teroris.

Sedangkan vampire biasanya tampil membela teroris. Jika Densus 88 berhasil meringkus  perencana teror, mereka akan bilang itu pengalihan isu.

Orang normal mempercayai data yang terang benderang. Yang bisa diverifikasi dan dari sumber kredibel. Sedangkan vampire percaya hoax dan informasi gelap gulita. Sumbernya situs bikinan sendiri. Ada juga orang normal yang ikut mempercayai informasi itu, lalu berubah jadi vampire juga. Seperti dicupang lehernya.

Lantas bagaimana cara mengalahkan vampire? Kalau melawan pocong, gampang. Kita tinggal baca ayat kursi, pocong pasti angkat tangan. Tapi sebelum kita bacakan, suruh lepas dulu  headset-nya, biar dia mendengar bacaan kita.

Nah, kalau berhadapan dengan vampire, saran saya tiru saja adegan dalam film: tunjukkan tanda salib. Ketika melihatnya mereka nanti akan kelojotan.

Jangankan salib, wong melihat topi santa saja mereka juga kepanasan kok.”

Ah, membaca tulisan Eko Kuntadhi, saya kok merasa menjadi vampire. Kurang ajar. Ketahuan deh.[]

Leave A Reply

Your email address will not be published.