Sumber: Bestkartun.blogspot |
KABAR itu beredar di saat masyarakat, tidak terkecuali umat Kriten, sedang terganggu dengan semakin maraknya hoaks, fitnah dan ujaran-ujaran kebencian berbau SARA yang benar-benar memuakkan.
Oleh sebab itu ketika beredar kabar bahwa DPR akan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Keagamaan, saya tidak begitu peduli.
Saya menganggap RUU inisiatif para anggota DPR itu sebagai bentuk simpati guna menyemarakkan Hari Santri Nasional (HSN) pada 22 Oktober lalu.
Kabar itu semakin luput dari perhatian saya, mungkin juga banyak orang, sebab peringatan HSN itu justru malah disemarakkan dengan berita pengibaran bendera HTI yang diikuti dengan pembakaran bendera organisasi terlarang tersebut.
Gara-gara kasus di atas, media massa dan media sosial pun, lagi-lagi dipenuhi dengan informasi-informasi simpang siur, membingungkan dan sarat dengan kebencian disertai dendam.
Ditambah dengan kesibukan saya sebagai caleg DPR-RI NasDem yang harus turun ke Dapil Jawa Tengah II (Kabupaten Demak, Kudus dan Jepara), saya sama sekali tak acuh bahwa umat krsitiani di negeri ini galau manakala mengetahui DPR berinisiatif membuat UU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan.
Saat ada teman di grup WA yang mengirim siaran pers Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) tentang RUU itu pun, saya tidak pedulikan.
Lho, kok makin ramai? Penasaran, saya lalu membaca siaran pers PGI sampai habis. Kesimpulan saya, apalagi setelah membaca dengan serius draf RUU Pesantren dan Pendidikan Agama, ternyata memang ada yang salah dan aneh dengan RUU tersebut. Ada diskriminasi di sana.
Posisi pesantren sebagai lembaga dakwah (syiar agama) sangat diistimewakan, sementara lembaga pendidikan lain non-Islam dikesankan tidak punya untuk bersyiar (dalam bahasa kristiani mengabarkan kabar suka cita).
Di RUU itu pasal 4 disebutkan bahwa ruang lingkup penyelenggaraan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan meliputi pengelolaan: (a) Pesantren sebagai lembaga pendidikan, lembaga penyiaran ajaran agama (dakwah Islam), dan lembaga pemberdayaan masyarakat. Di dalam butir (b) hanya disebutkan: “Pendidikan Keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.”
Mengacu pada butir (a) dan (b) muncul pertanyaan pendidikan keagamaan di luar pesantren dikatagorikan sebagai kegiatan yang bukan atau tidak berhak berdakwah?
Yang juga mengejutkan tentunya, seperti yang juga disimpulkan oleh PGI, RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan, RUU itu tidak hanya mengatur tentang pesantren dan madrasah, namun juga mengatur pendidikan keagamaan bagi agama-agama lain di luar Islam.
Menyikapi hal tersebut Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) menyampaikan beberapa hal:
PGI tidak menutup mata bahwa pendidikan keagamaan formal seperti pesantren, madrasah, sekolah teologi dan sejenisnya — sebagai bagian dari pendidikan nasional — telah memiliki kontribusi besar dalam membentuk karakter bangsa.
PGI juga menilai bahwa selama ini pengembangan institusi pendidikan berbasis agama tersebut kurang mendapat dukungan dari negara.
Kenyataan itu, menurut PGI, merupakan bentuk ketidakadilan di dunia pendidikan di mana pendidikan formal lainnya mendapat dukungan penuh dari negara.
PGI memahami bahwa diperlukan UU yang diharapkan bisa menjadi payung hukum bagi negara dalam memberikan perhatian dan dukungan kepada pesantren dan pendidikan keagamaan lain.
Namun, mengacu dari draf RUU yang disiapkan DPR, ketika membahas tentang pendidikan dan pembinaan di kalangan umat Kristen, menurut PGI, RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan tidak memahami konsep pendidikan keagamaan Kristen di mana ada pendidikan formal melalui sekolah-sekolah yang didirikan oleh gereja-gereja dan ada pendidikan nonformal melalui kegiatan pelayanan (peribadahan) di gereja.
RUU itu rupanya terlalu dalam mengurusi intern rumah tangga gereja, atau memasuki wilayah privat gereja, padahal seharusnya RUU yang kelak menjadi UU harus berdomain publik.
Yuk kita cermati pasal 69-70 RUU tersebut. Persisnya Pasal 69 berbunyi: (1) Pendidikan Keagamaan Kristen jalur pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 diselenggarakan dalam bentuk Sekolah Minggu, Sekolah Alkitab, Remaja Gereja, Pemuda Gereja, Katekisasi, atau bentuk lain yang sejenis.
(2) Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh gereja, organisasi kemasyarakatan Kristen, dan lembaga sosial keagamaan Kristen lainnya dapat berbentuk satuan pendidikan atau program.
(3) Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dalam bentuk program yang memiliki peserta paling sedikit 15 (lima belas) orang peserta didik.
(4) Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal yang diselenggarakan dalam bentuk satuan pendidikan atau yang berkembang menjadi satuan pendidikan wajib mendapatkan izin dari kantor Kementerian Agama kabupaten/kota setelah memenuhi ketentuan tentang persyaratan pendirian satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).
Pasal 70 RUU tertulis seperti ini: (1) Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal bertujuan untuk melengkapi pendidikan agama Kristen yang diperoleh di Sekolah Dasar/Sekolah Dasar Teologi Kristen, Sekolah Menengah Pertama/Sekolah Menengah Pertama Teologi Kristen, Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah Teologi Kristen/Sekolah Menengah Agama Kristen atau di pendidikan tinggi dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Tuhan.
Ayat (2): Penyelenggaraan Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal dapat dilaksanakan secara berjenjang atau tidak berjenjang.
Mari kita berandai-andai, jika RUU itu kelak disahkan menjadi undang-undang, maka negara punya kewajiban mengatur ibadah yang diperuntukkan bagi anak-anak (sekolah minggu). Negara juga berhak mengatur katekisasi yang selama ini dirancang dan disiapkan oleh majelis gereja dan pendeta.
Konsekuensinya, sebagaimana bunyi pasal 69 ayat (3), peserta sekolah minggu dan peserta katekisasi minimal harus 15 orang. Kurang dari itu, sekolah minggu dan katekisasi bisa saja dianggap liar karena melanggar UU.
Saya sependapat dengan PGI bahwa pendidikan (tepatnya ibadah anak-anak) sekolah minggu dan katekisasi, sesungguhnya adalah proses interaksi edukatif yang dilakukan oleh gereja-gereja di Indonesia, yang merupakan pendidikan nonformal dan masuk dalam kategori pelayanan ibadah bagi anak-anak dan remaja.
Menengok kembali ke belakang, sebutan “sekolah minggu” pertama kali muncul di Inggris pada abad 18. Gereja membuka sekolah minggu karena prihatin melihat anak-anak yang berasal dari kaum buruh tidak mendapatkan pendidikan.
Anak-anak nir-pendidikan itu sehari-hari ikut bekerja bersama orang tuanya di pabrik. Robert Raikers, tokoh gereja pada saat itu, sebagaimana diinformasikan Matias Filemon, pendeta GKJ Tangerang, lalu mengumpulkan anak-anak tersebut di hari Minggu setelah ibadah untuk belajar membaca, menulis, etika dan pendidikan dasar lainnya.
Lambat laun gereja-gereja membuat pemisahan. “Sekolah Minggu” dikhususkan sebagai ibadah bagi anak-anak. Menurut Matias, sebenarnya beberapa kali istilah “Sekolah Minggu” diusulkan untuk diubah menjadi “Ibadah Anak”.
Tetapi agaknya, istilah “Sekolah Minggu” sudah terlanjur melekat di komunitas gereja puluhan, bahkan ratusan tahun yang lalu hingga saat ini.
Pertanyaannya, ritual ibadah seperti itukah yang nanti akan diatur negara lewat UU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan? Ditambah pula syaratnya harus 15 orang dan harus seizin Kementerian Agama?
Fakta dalam kehidupan bergereja, peserta katekisasi, baik yang akan mengaku percaya (sidi) atau baptis dewasa lazimnya kurang dari 15 orang. Apakah menyelenggarakan katekisasi pranikah juga harus seizin Kementerian Agama? Apakah harus menunggu dulu pasangan calon pengantin hingga total 15 orang?
Sungguh aneh jika DPR yang berinisiatif melahirkan UU tersebut menyetarakan pembinaan iman warga gereja lewat aktivitas sekolah minggu dan katekisasi dengan pesantren dan lembaga pendidikan formal.
Maka beralasan jika PGI menganggap penyusunan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan adalah kecenderungan membirokrasikan pendidikan nonformal, khususnya bagi pelayanan anak-anak dan remaja yang sudah dilakukan sejak lama oleh gereja-gereja di Indonesia.
Kecenderungan itu dikhawatirkan menjadi sebuah intervensi negara pada agama. Masa sih negara mengurus soal remeh temeh yang selama ini sudah berjalan dengan baik di dalam komunitas gereja, baik Kristen Protestan, maupun Katolik?
Tanpa bermaksud mengeliminasi program legislasi DPR, saya pikir, kita setuju bahwa UU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan memang diperlukan.
Namun, pembahasannya sebaiknya ditunda dulu. Jangan sampai niat baik itu malah dipolitisasi. Ayo kita bijak dan berhati-hati. Urusan rumah tangga gereja tak perlulah dicampuri negara. Biarlah gereja yang bertanggung jawab kepada Tuhan, bukan kepada negara.
Jika pun RUU tersebut dipaksakan untuk dibahas, meskipun sebenarnya bukan prioritas, sebaiknya pasal-pasal dan ikutannya yang isinya menjadi urusan intern gereja dieliminasi atau ditiadakan.
Lagi pula, apa sih pentingnya negara mengurus rumah tangga gereja, seperti halnya sekolah minggu, kegiatan remaja gereja dan katekisasi?
Saya malah khawatir, jika pasal dan ayat-ayat itu diberlakukan, jangan-jangan nanti malah ada ormas gila yang melakukan sweeping ke gereja dan membubarkan ibadah sekolah minggu karena guru-guru sekolah minggu sedang mengajar dan bercerita tentang kasih Yesus di depan 20 anak-anak, namun gereja lupa minta izin Kementerian Agama.
Lain soal tentu jika para wakil rakyat kita memang menghendaki tindakan anarkis diskriminatif terhadap kelompok minoritas itu terus terjadi di negeri ini. Apa kata dunia?[]