Pengalaman Menjadi Saksi dan Kesaksian Ma’ruf Amin
Foto: mediaindonesia |
BAGAIMANA perasaan seseorang jika ia dihadirkan sebagai saksi dalam sidang pengadilan dan berhadapan dengan hakim yang tengah menangani sebuah perkara?
Izinkan saya menjawab: galau dan deg-degan. Saya pernah menjadi saksi di pengadilan dalam dua kasus atau perkara yang berbeda.
Perkara pertama menyangkut sengketa hak cipta yang melibatkan Media Indonesia (MI), koran tempat di mana saya pernah bekerja sebagai wartawan dan redaktur.
Waktu itu MI digugat lantaran memuat foto karya milik orang lain dan karena kelalaian tim redaksi dan bagian produksi, foto itu “diklaim” milik fotografer MI.
Gara-gara kelalaian itu, MI sudah meminta maaf secara terbuka kepada si pemilik foto asli dan memasang kembali foto yang bersangkutan dengan mencantumkan namanya di lembaran MI.
Namun, permohonan maaf model begitu tetap tidak diterima oleh sang pemilik foto. Gugatan tetap diajukan ke pengadilan. MI dituntut membayar ganti rugi miliaran rupiah.
Gugatan diproses di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Saya oleh lawyer MI diminta menjadi saksi. Melihat suasana ruang sidang dan meja hakim, saya merinding.
Saya kemudian membayangkan hakim yang akan menyidangkan perkara. Saya tidak mungkin berbohong di depan hakim karena Bapak Hakim adalah representasi Tuhan dan dari merekalah lahir keadilan. Bahwa dalam praktik ada hakim yang memutuskan perkara lantaran atau demi uang, saya anggap itu representasi “setan”.
Sebelum memberikan kesaksian, saya diminta meninggalkan ruang sidang, sebab saksi yang lebih dulu didengar keterangannya adalah saksi dari pihak penggugat.
Di luar ruangan, saya hanya bisa menduga-duga hakim atau pengacara dari pihak penggugat akan bertanya apa kepada saya. Lagi-lagi saya bertanya kepada diri saya sendiri: mungkinkah saya berbohong untuk memenangkan perusahaan tempat saya bekerja?
Setelah melalui sidang beberapa kali, hakim akhirnya memutuskan kemenangan buat sang penggugat. Namun, saya tidak ingat, berapa MI mesti membayar ganti rugi.
Perkara kedua menyangkut sengketa tanah yang melibatkan koperasi MI dan banyak pihak. Miriplah dengan sidang perkara “penistaan agama” yang melibatkan Ahok. Perkaranya tunggal, namun banyak pihak merasa berkepentingan dengan kasus tersebut. Sampai-sampai ulama sekelas Ma’ruf Amin yang menjabat sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia ikut terlibat dan didengar kesaksiannya.
Sidang atas sengketa tanah di atas dilangsungkan di PN Jakarta Selatan. Lawyer MI minta saya menjadi saksi, sebab posisi saya waktu itu sebagai wakil ketua koperasi karyawan MI.
Sebelum memberikan kesaksian, di depan majelis hakim, saya disumpah dengan saksi sebuah kitab suci yang di dalamnya sarat dengan firman Tuhan. Konsekuensinya, saya tidak boleh berbohong. Apa yang saya katakan, bukan demi Pak Hakim, tapi demi Tuhan.
Oleh sebab itu ketika majelis hakim bertanya kepada saya, saya hanya bisa jelaskan apa yang saya ketahui dan alami; bukan yang saya inginkan. Saya ungkapkan fakta-faktanya. Sulit bagi saya untuk berbohong.
Terlepas dari cibiran banyak orang, saya tetap memberikan apresiasi kepada para saksi kasus “penistaan agama” di PN Jakarta Utara yang “begitu jujur” mengungkapkan apa yang diketahui dan dialami saat memberikan kesaksiannya.
Saya salut meskipun berprinsip demi memenjarakan Ahok, para saksi di depan majelis hakim akhirnya berterus terang bahwa mereka tidak pernah mendengar secara langsung pidato Ahok di Pulau Pramuka (Kepulauan Seribu) yang diklaim sementara pihak sebagai penistaan agama.
Saya juga salut kepada para saksi, setelah disumpah, mereka mengaku tidak pernah menonton secara utuh video berisi rekaman saat Ahok menyebut Surat Al Maidah 51. Begitu pula, saya salut kepada para saksi karena mereka tidak mengarang cerita bahwa mereka diutus Tuhan naik ke atas punggung seekor burung dan menclok di Pulau Pramuka saat Ahok bertemu dengan para nelayan 27 September 2016.
Ya, mereka berbicara apa adanya di ruang sidang pengadilan kasus Ahok, karena para saksi itu bertanggung jawab kepada Tuhan, bukan kepada manusia.
Saya pun menaruh rasa hormat yang tinggi kepada Ma’ruf Amin selaku ketua umum MUI yang kemarin (Selasa 31 Januari 2017) memberikan kesaksian dalam kasus “penistaan agama” di PN Jakarta Utara.
Beliau bukan orang sembarangan. Ia seorang kiai yang pasti sangat sadar apa yang diucapkan berdampak luar biasa, bukan saja kepada manusia, tapi juga kepada Tuhan. Ia bukan ulama sekelas “Habib” Novel yang kemudian populer dengan “Fitsa Hat”-nya.
Sudah barang tentu fatwa MUI yang dikeluarkannya tempo hari (kasus Al Maidah yang menyeret Ahok sebagai penistaan agama), bukan fatwa main-main. Dampak atas fatwa itu menjadi tanggung jawabnya. Sekali lagi ia bukan hanya bertanggung jawab kepada manusia, tapi juga Allah.
Oleh sebab itu saya memberikan apresiasi kepada KH Ma’aruf Amin yang dalam sidang kemarin berterus terang tidak pernah menonton video Ahok-Al Maidah (namun hanya menyerahkan tim di MUI) saat akan memandu para ulama mengeluarkan fatwa menghebohkan tersebut.
Sayang memang dalam persidangan kemarin, tim penasihat hukum mempunyai fakta lain bahwa sebelum MUI mengeluarkan fatwa yang melahirkan “keributan” itu, Ma’ruf Amin pernah dihubungi oleh seorang aktor politik yang minta agar MUI mengeluarkan fatwa penistaan agama.
Ditanya soal itu, ulama kita yang sepuh ini menyangkal. Lagi-lagi, ini menjadi tanggung jawab Ma’ruf sebagai saksi di pengadilan. Ia telah disumpah. Dalam soal ini, ia bertanggung jawab kepada Tuhan, bukan kepada manusia. Hakim representasi Tuhan. Saat bejam-jam memberikan kesaksian di depan majelis hakim, sesunguhnya Ma’ruf sedang memberikan “pengakuan” apa yang dialaminya kepada Tuhan.
Dalam konteks di atas, yang paling tahu hanya Tuhan, Ma’ruf Amin dan aktor politik.
Tidak puas atas “pengakuan” Ma’ruf (menyangkut ia dihubungi aktor politik), tim penasihat hukum Ahok berencana mengadukan orang tua kita ini ke polisi dengan sangkaan memberikan kesaksian palsu.
Saya bisa pahami jika pihak yang dirugikan (Ahok) memerkarakan Ma’ruf. Gara-gara fatwa MUI yang dikeluarkan Ma’ruf dan kawan-kawan, Ahok menderita lahir batin. Ia sekonyong-konyong menjadi manusia yang paling dibenci oleh mayoritas penduduk negeri ini yang sesungguhnya cinta damai.
Pengalaman saya sebagai saksi “hanya” berkonsekuensi terhadap untung rugi (material). Tapi, tidak demikian dengan kasus yang menimpa Ahok. Pertaruhannya jiwa dan raga.
Menghadapi perkara ini, yang stres bukan saja Ahok, tapi juga anak dan istrinya. Kemanusiaan Ahok bisa dan sah-sah saja jika ia mengatakan “saya sakit hati.”
Apalagi, diakui atau tidak, pengadilan atas diri Ahok sarat dengan aroma politik. Saya berharap, Ahok dan penasihat hukumnya tidak melanjutkan kasus kesaksian Ma’ruf ke ranah hukum dan menyelesaikan secara “politik”.
Karena kesaksian dalam sidang pengadilan menyertakan Tuhan, semoga Ahok juga bisa menyerahkan diri kepada Tuhan, sebab kehendak Tuhan pasti yang terbaik. Ya, terbaik buat Ahok, Ma’ruf Amin, Jakarta dan Indonesia.[]