Skor 1-1, Selamatkan KPK, Bukan Oknumnya
DRAMA perseteruan antara Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berjalan begitu cepat. Pagi tadi (Jumat 23 Januari), Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW), dicokok polisi, karena “dosa” yang dilakukannya lima tahun lalu dalam kasus pemilu kepala daerah Kota Waringin Barat, Kalimantan Tengah.
Persisnya, saat kasus sengketa pilkada di kabupaten tersebut masuk ke Mahkamah Konstitusi (MK), Bambang yang saat itu ditunjuk sebagai kuasa hukum pihak yang berperkara minta kepada beberapa orang saksi agar memberikan keterangan palsu. Gara-gara para saksi memberikan keterangan palsu, kasus yang ditangani Bambang menang, dan Ujang Iskandar, kliennya, kini nyaman menjadi bupati Kota Waringin Barat.
Siapa pun gampang menerka, penangkapan Bambang dilakukan polisi sebagai aksi balas dendam atas ditetapkannya Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka oleh KPK setelah yang bersangkutan dipilih Presiden Jokowi menjadi Kapolri tiga pekan lalu. Alasan KPK, BG punya “dosa” doyan menyimpan rekening gendut yang tak jelas asal usulnya. Rekening obesitas BG konon mencapai Rp 56 miliar.
Dalam soal penangkapan tersangka (terutama kasus korupsi), tiga institusi (KPK, Polri dan Kejaksaan Agung) sebenarnya sudah punya aturan main yang ditetapkan dalam kesepakatan bersama. Namun, dalam kasus penangkapan BG dan BW, kedua lembaga hukum itu (KPK dan Polri) kompak melupakan dulu kesepakatan itu.
Saat KPK menetapkan BG sebagai tersangka, lembaga antirasuah itu tak berkoordinasi dengan Polri. Begitu pula, saat menetapkan BW sebagai tersangka, Polri juga gantian menganut prinsip “EGP” (emang gue pikirin) dengan kesepakatan bersama.
Jika sengkarut KPK-Polri diibaratkan pertandingan sepakbola, skor sementara adalah 1-1. Namun, jika dikaitkan dengan kasus pelanggaran etika yang dilakukan Ketua KPK Abraham Samad – kasusnya dibongkar Plt Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, Kamis 22 Januari –, maka skornya 2-1 untuk “kemenangan” Polri.
Pelanggaran etika sebagaimana diungkap Hasto adalah Samad menjadikan KPK sebagai “kendaraan politik” agar PDIP mencalonkan pria berkumis itu sebagai calon wakil presiden (wapres) untuk mendampingi Jokowi. Untuk tujuan ini, masih menurut Hasto, Samad mengadakan pertemuan rahasia hingga enam kali dengan pihak-pihak terkait. Agar tak diketahui publik, terutama media, Samad mengenakan topi dan masker.
Besar dugaan, Samad kecewa karena tim Jokowi tak mencalonkannya sebagai wapres. Samad lantas memanfaatkan momentum pencalonan BG sebagai Kapolri tiga pekan lalu untuk mempermalukan tim Jokowi, sehingga KPK langsung menetapkan BG sebagai tersangka kasus rekening gendut. KPK menetapkan BG sebagai tersangka tanpa proses pemeriksaan terhadap BG dan saksi-saksi.
Cara KPK seperti itulah yang kemudian ditafsirkan banyak pihak bahwa “ada udang di balik bakwan” atas penetapan BG sebagai tersangka.
Pasca-penangkapan BW, masyarakat tentu saja terkejut dan para penggiat antikorupsi melakukan aksi unjuk rasa sejak pagi hingga sore tadi. Mereka protes seolah-olah ada pihak yang ingin melemahkan KPK. Yes, kita setuju, siapa pun tak boleh melemahkan KPK. Sangkaan bahwa Abraham Samad berpolitik juga dianggap bagian dari upaya mengerdilkan KPK.
Tapi, apa pun dalih yang disampaikan para penggiat antikorupsi dan bantahan Ketua Deputi Pencegahan KPK Johan Budi, bongkar-bongkaran yang dilakukan PDIP dan Polri atas dua petinggi KPK, dua institusi ini ingin menunjukkan bahwa KPK sebenarnya tidak sepenuhnya diisi “malaikat” yang serba bersih dan bebas dari dosa.
Hasto mengarang cerita tentang aksi politik Abraham Samad? Sungguh naif jika itu dilakukan Hasto, sebab apa yang disampaikan di depan pers, risikonya sangat tinggi. Jika dia mengarang tanpa fakta, yang hancur bukan saja sosoknya, tapi juga PDIP dan Jokowi yang diusung PDIP. Hasto juga harus berhadapan dengan rakyat yang selama ini menganggap KPK sebagai “wakil Tuhan” dalam upaya membasmi penyakit kotor korupsi yang diidap para pejabat dan memalukan Indonesia di mata dunia.
Sementara Polri juga ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa “oke gue memang kotor, tapi kamu juga harus tahu, pimpinan KPK pun nggak bersih-bersih amat, kok.”
Beruntung, dalam kasus terakhir ini, masyarakat antikorupsi tahu diri dan suara yang dikumandangkan adalah “selamatkan KPK”, bukan “selamatkan Bambang Widjojanto”. Berbeda dengan aksi beberapa tahun silam saat Bibit-Chandara dikriminalisasikan polisi. Suara yang muncul saat itu adalah “selamatkan Bibit-Chandra.”
Mudah-mudahan masyarakat bisa membedakan antara lembaga (KPK) dan orang-orang yang duduk di dalamnya. Mereka tentu tidak ingin melihat KPK yang begitu garang menangkapi pejabat yang doyan mencuci uang hasil korupsi, tapi para komisonernya menjadikan lembaga itu sebagai tempat untuk mencuci dosa atau menutupi aib masa lalu.
Nasi sudah menjadi bubur. Aib Samad sudah terlanjur dibuka. Dosa Bambang Widjojanto sudah terlanjur diketahui publik. Begitu pula, dosa Budi Gunawan tak bisa lagi disembunyikan oleh yang bersangkutan, apalagi oleh para penyokongnya, juga Jokowi.
Merespons kasus tersebut, Presiden Jokowi memberikan pernyataan yang sangat normatif. Dia minta agar KPK dan Polri meminimalisasi gesekan-gesekan yang dapat memperkeruh suasana. Dia juga ingin agar kasus-kasus tersebut diselesaikan secara hukum sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku.
Jika Jokowi konsisten dengan ucapannya yang normatif itu, maka ia harus membiarkan KPK menindaklanjuti kasus Budi Gunawan hingga dibuktikan di pengadilan bahwa ia bersalah atau tidak bersalah. Artinya selama proses itu berlangsung, haram hukumnya bagi Jokowi untuk melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri.
Kasus hukum harus diselesaikan secara hukum. Jangan sampai kasus hukum diselesaikan dengan cara politik. Demikian pula kasus yang melibatkan BW, harus dituntaskan lewat jalur hukum, jangan sampai ada pihak yang coba menyelesaikan lewat jalan tol politik.
Khusus kasus Samad, di internal KPK sudah ada aturan main, selesaikanlah lewat Komite Etik. Dengan demikian semua kasus di atas bisa dituntaskan secara fair. Selamatkan KPK, bukan oknumnya.[]