“Selamat Tinggal Gerejaku”

0 268

Catatan Gantyo Koespradono

MESKIPUN usia tak lagi muda, saya merasa tetap muda saat mengikuti Semiloka Pembimbing Remaja bertema  ”Menjadi Pembimbing Gaul” yang diselenggarakan Lembaga Pembinaan dan Pengaderan (LPP) Sinode Gereja-Gereja Kristen Jawa (GKJ) dan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sinode  Wilayah Jawa Tengah  di Yogyakarta, 3-4 Agustus 2012 lalu.

Lima puluh tujuh peserta (pendamping/pembimbing remaja gereja) dari GKJ dan GKI ambil bagian dalam acara tersebut. Sebelum mengikuti acara tersebut, saya menduga, saya adalah peserta yang paling tua.

Dugaan saya rupanya meleset, sebab ada peserta yang usianya sudah kepala enam, bahkan mengaku sudah punya cucu alias berprofesi sebagai ”MC” (menimang cucu).  Kenyataan ini membuktikan bahwa sebenarnya gereja (khususnya GKJ) mengalami ”krisis” pelayan (pendamping) remaja. Pasalnya, menurut Pdt Murtini dari LPP Sinode, idealnya, usia pembimbing remaja adalah maksimal 25 tahun. 

Ini komentar saya: melewati usia itu, pasti akan ada jarak antara yang membimbing dan yang dibimbing, apalagi jika sang pendamping (biasanya adalah anggota majelis) – maaf – sok ”jaim” (jaga image), dijamin komunikasi yang dibangun dengan remaja nggak bakalan nyambung.

Mendengar apa yang dituturkan Pdt Murtini, saya coba menghibur diri, sebab di kemajelisan GKJ Tangerang, saya adalah majelis khusus. Artinya, saya bukan dicalonkan sebagai anggota majelis oleh jemaat wilayah, tapi para remaja yang mencalonkan saya agar mendampingi mereka. Sebuah proses yang memang tidak lazim, sehingga sempat memunculkan pro dan kontra di kalangan jemaat dan anggota majelis. 

Apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Persoalannya sekarang bagaimana nasi yang sudah menjadi bubur itu tetap enak dimakan. Mau tidak mau, nasi yang telah melembek itu harus diolah jadi bubur ayam yang tetap sedap dimakan.  

Setelah terpilih sebagai anggota majelis dengan tugas khusus mendampingi remaja, tenaga saya juga termanfaatkan untuk tugas-tugas sebagai sekretaris majelis dan tetap diharapkan untuk membantu pelayanan di kewilayahan.
Pekerjaan pelayanan, yang lagi-lagi, menurut Pdt Murtini, tidak ideal, sebab pendamping/pembimbing remaja harus fokus pada pelayanannya sebagai pembimbing remaja. 

Mengapa? Karena remaja adalah masa depan gereja. Bahkan, remaja adalah masa kini gereja. Pdt Tabita Kartika Christiani dari Universitas Kristen Duta Wacana yang juga menjadi fasilitator semiloka mengingatkan, ”masa aktif” remaja relatif pendek (maksimal 5-7 tahun). Bandingkan dengan masa aktif anak-anak sekolah minggu yang ”durasinya” 1-12 tahun, atau warga dewasa yang masa aktifnya puluhan tahun. Durasi aktivitas remaja di gereja bahkan ada yang tidak sampai 5 tahun.

Jika dalam tempo yang pendek itu, mereka diabaikan atau sekadar dijadikan objek atau ”pelengkap penderita” oleh keputusan-keputusan ”otoriter” majelis, maka sangat mungkin, dengan mudah mereka akan mengambil keputusan: ”Selamat tinggal gerejaku.”

Survei yang dilakukan LPPS pada sesi pertama membuktikan realitas seperti itu. Kami dijadikan responden untuk menjawab pertanyaan tentang kondisi remaja dan perhatian gereja/jemaat terhadap remaja GKJ/GKI. 

Hasilnya, belum semua kegiatan remaja gereja mendapat dukungan dari jemaat/majelis. Tidak semua majelis pendamping aktif mendampingi remaja, karena berbagai sebab, antara lain rangkap jabatan/tugas pelayanan. Victoria Ratih Wulansarie dari GKJ Wisma Panunggal Mrican Semarang juga mengalaminya seperti halnya saya. Selain ditugaskan sebagai pendamping remaja, dia juga merangkap sebagai sekretaris I majelis. Beberapa peserta dari gereja lain yang kebetulan berjabatan majelis juga setali tiga uang.

Maka bisa dipahami jika survei itu menghasilkan data, ”sebagian besar belum optimal” saat peserta ditanya, ”di gereja/jemaat Anda, apakah para pembimbing remaja, sudah optimal dalam menjalankan tugasnya?”

Jujur, saya mengakui, saya memang belum optimal mendampingi remaja. Dalam keterbatasan waktu dan tenaga, saya pernah mengajak mereka (dimasukkan dalam program) nonton bareng taping program talkshow Kick Andy di Metro TV. Lewat program ini, saya tidak ingin remaja hanya dicecoki oleh khotbah-khotbah para pengkhotbah yang (maaf) kerap tidak menggunakan bahasa remaja saat menyampaikan firman Tuhan. Dengan terlibat langsung menjadi penonton di studio Metro TV, remaja GKJ Tangerang dapat  mengetahui ”kesaksian” para nara sumber yang diwawancarai Andy Noya sebelum diedit dan ditayangkan Metro TV. Saya bahagia melihat para remaja bersukaria menghadiri dan terlibat dalam acara itu, apalagi setelah beberapa wajah mereka nongol di Metro TV ketika program itu ditayangkan. 

Sejumlah episode Kick Andy telah saya tuangkan dalam buku ”Kick Andy, Kumpulan Kisah Inspiratif” yang juga dibaca anak-anak remaja GKJ Tangerang. Salah satu episode (kesaksian anak-anak Rony Pattinasarani yang tobat setelah terlibat narkoba) saya diskusikan dengan para remaja.

Karena keterbatasan (usia), saya berusaha tidak menjaga jarak. Berkomunikasi dengan mereka, saya menggunakan kata ”aku” atau ”gue” untuk menggantikan kata ”saya” yang sangat formal. 

Bahasa gaul dan ”agak urakan” juga saya gunakan dalam buku yang sengaja saya tulis untuk mereka (para remaja di gereja mana pun) berjudul ”Menjadi Remaja Kristen Profesional dan Keren Abizzz”. Lewat buku ini, saya berusaha menyelami cara gaul mereka. Saya kutip pengantarnya seperti ini:

HAI, halo. Gue sengaja nulis buku ini buat kamu. Gue pengen kamu jadi anak-anak Tuhan yang bukan saja profesional, tapi juga keren. Gue pengen kamu-kamu nanti jadi raja, bukan prajurit. Gue pengen kamu jadi kepala, bukan ekor. Gue yakin kamu bisa. Di dalam Tuhan, mana ada sih yang nggak mungkin?

Salah satu cara agar kamu bisa adalah belajar. Belajar apa saja, termasuk membaca buku ini. Memang Tuhan itu luar biasa. Saat nulis buku ini, gue dikirimin cerita yang sebenernya gue juga sudah pernah dapetin beberapa tahun silam, tapi gue lupa gue simpen di mana.

Rasanya pas deh kalo cerita itu gue masukin di pengantar ini. Begini ceritanya: Karena dianggap terlambat dalam menyerap pelajaran dan tidak berbakat, maka setelah tiga bulan, akhirnya ia dikeluarkan dari sekolah. Pihak sekolah tidak bisa lagi menerima ia sebagai siswa di sekolah itu.

Mengalami fakta kayak gitu, sang ibu nggak marah, kecewa dan dendam pada pihak sekolah. Si ibu juga nggak menyesal telah melahirkan dia.  Sang bunda lalu mengambil keputusan untuk mendidiknya sendiri.

Sang ibu melihat rupanya putranya memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar. Maka ia pun segera melatih putranya agar kemampuannya bisa lebih berkembang.

Di usia 11 tahun, anaknya sudah memiliki laboratorium kimia sendiri. Setahun kemudian “anak blo’on” itu berhasil menciptakan mesin telegraph sendiri.

Ibunya terus melatih dan memberi ruang padanya untuk terus berkembang. Hasil dari proses pendampingan dan pelatihan yang dilakukan oleh ibunya semasa kecil hingga remaja, ia semakin percaya diri untuk mengembangkan potensi dirinya. Salah satu hasil usahanya itu adalah ia berhasil menciptakan lampu pijar pertama di dunia. Kamu pasti sudah tahu, dia adalah Thomas Alva Edison. 

Di belakang kesuksesan Alva Edison ada seorang ibu sekaligus pelatih yang hebat. Sang ibu bernama Nancy Mattews Edison. Stop! Kamu jangan banding-bandingkan Nancy dengan ibumu. Yang pasti ibumu sangat luar biasa.

Sesungguhnya semua anak di dunia ini hebat, dahsyat, termasuk kamu. Gue sadar banyak di antara kamu yang nggak tahu bahwa kamu-kamu super hebat. Oleh sebab itulah gue nulis buku ini. Ibarat tim sepakbola, anggap saja buku ini sebagai pelatih untuk melengkapi ibu dan ayahnya yang juga pelatihmu.

Buku ini nggak pernah ada kalo nggak ada Tuhan yang kita kenal di dalam Yesus Kristus. Karena itu gue layak dan wajib ngucapin terimakasih kepada Dia yang telah memberi gue semangat, motivasi dan waktu, juga kesehatan.

Akhirnya  mau tidak mau (nggak kepaksa lho) gue ngucapin terimakasih ke kamu yang telah berkenan membaca buku ini. Jujur deh, tanpamu gue bukan siapa-siapa dan tidak pernah menjadi apa-apa.

Selamat membaca dan menjadi remaja Kristen yang profesional dan keren abizzzz.

***

Jika ada di antara Anda yang kebetulan membaca catatan saya ini ingin memiliki buku tersebut untuk dibagikan kepada para remaja (atau dijual kembali), silakan hubungi GKJ Tangerang, sebab buku tersebut sudah saya serahkan sepenuhnya kepada GKJ Tangerang, baik hak terbit, edar, maupun jualnya. Namun, untuk sementara ini, Anda bisa SMS saya di nomor 0818-174708. 

Saya juga kerap memanfaatkan Facebook untuk melakukan pembinaan kepada para remaja. Catatan-catatan saya di jaringan sosial tersebut saya “tag” ke mereka. Menurut saya, cara-cara seperti itu jauh lebih efektif daripada mencekoki mereka dengan khotbah-khotbah yang terlalu ”alkitabiah”.

Sebaliknya, kita justru punya tanggung jawab moral untuk menjadikan diri mereka sebagai ”Alkitab” yang bisa dibaca dan diteladani oleh teman-teman mereka sendiri.

Caranya, kita memang harus berorientasi kepada mereka, menjadi remaja, meskipun usia tidak lagi remaja. Selama dua hari mengikuti semiloka di LPPS Yogyakarta, saya telah menjadi remaja, ikut outbond ringan, bermain dan bercanda.

Semoga apa yang diperoleh para peserta dari semiloka itu, tidak menjadikan para remaja termotivasi untuk mengatakan ”selamat tinggal gerejaku”  hanya gara-gara para pendampingnya sok jaim dan memanfaatkan remaja hanya sebagai objek, bukan subjek dengan dalih ”ini keputusan majelis!”*** 




  
Leave A Reply

Your email address will not be published.