WASWAS DI SAAT UJIAN NASIONAL

2 344
MENGAJARKAN anak jujur rupanya penuh dengan cobaan. Sehari menjelang Ujian Nasional (UN), saya dan istri menemukan secarik kertas di tempat pensil anak laki-laki saya yang akan mengikuti UN.

Di kertas itu tertera tulisan berhuruf kecil dengan susunan seperti ini: “Bhs Indo 1-5 6-10. Paket A kode ABCEA. dccde eccb 11-20. accce abbaa 21-30. deacd baaac 31-40. bcce baacb 41-50.”

Banyak tafsir atas huruf-huruf yang ditulis dengan pensil tersebut. Bisa jadi itu merupakan kunci jawaban contoh soal yang diberikan oleh lembaga tempat di mana anak saya ikut bimbingan test. Tafsir lain anak saya telah mendapatkan bocoran jawaban soal UN dari kawan-kawannya atau entah dari pihak mana. Menjelang ujian dan saat-saat ujian, anak saya memang asyik dengan SMS hingga larut malam.

Saya dan istri sengaja tidak menanyakan hal itu, sebab kalau ini yang kami lakukan, dia pasti marah, karena kami mencurigainya. Dari berbagai kasus di saat dia berbohong dan kami ketahui, dia selalu marah dan memojokkan kami, “kenapa sih ayah mama curiga terus.”

Hari kedua ujian, sungguh mengejutkan, sekitar pukul 04.00, anak kami sudah keluar rumah dengan seragam sekolah. Saat kami tanya, dia memberikan jawaban belajar dulu ke rumah teman.

Belakangan baru saya ketahui, kawan sekantor saya yang juga punya anak SMA kelas 3 mengatakan, pagi-pagi (tidak seperti biasanya) anaknya juga sudah berangkat ke sekolah. Namun, kata teman, “anak saya jujur. Ketika saya tanya, dia berterus terang semua itu dilakukan untuk mencari bocoran jawaban soal UAN.” Teman saya dan anaknya juga tidak tahu dari mana sumber bocoran jawaban soal ujian tersebut.

Semula saya ragu, mungkinkah soal UN bocor di tengah jalan? Sebab dua hari menjelang pelaksanaan UN, pendistribusian soal UAN diawasi secara ketat, bahkan melibatkan aparat kepolisian.

Namun siapa yang bisa menjamin? Buktinya di saat para siswa mengikuti ujian tersiar kabar ternyata soal UN bocor di berbagai kota. Bukan hanya soal UN yang bocor, tetapi juga kunci jawabannya. Seorang siswa dikabarkan ada yang sempat bingung mendapat SMS yang isinya: “AABBACDAE.” Ternyata itu adalah kunci jawaban soal UN.

Yang mengkhawatirkan saya — jika memang anak saya mendapatkan bocoran jawaban — menurut seorang ahli pendidikan, kunci jawaban itu tidak 100% benar. Kata dia, ada sedikit kunci yang sengaja dibuat salah. Jadi bila seorang siswa mengikuti kunci itu, ia tidak akan memperoleh nilai UN 10 bulat tetapi 9 koma.

Itu masih “bagus”, tapi bagaimana kalau ada pihak atau calo yang mengaku seolah-olah tahu dan menipu anak-anak dengan meminta bayaran. Pasalnya, beberapa hari sebelum ujian, anak saya minta uang ke ibunya yang katanya untuk ini dan itu yang menurut kami tidak masuk akal. Total jumlahnya ada Rp 600.000-an. Permintaannya kami luluskan dengan syarat harus ada kwitansinya.

Namun pembayaran yang berkwitansi cuma ada tiga. Yang lain tidak jelas. Ketika kami desak, lagi-lagi anak kami tersinggung dan menuding kami mencurigainya. Keesokannya ketika kami tagih, dia punya jawaban lain. Katanya, kalau yang itu nanti dibayarkan ke wali kelas. Dalam hati saya berkata, sulitkah menemui wali kelas untuk membayar sesuatu hingga harus ditunda dan akhirnya lupa?

Kecurigaan kami ada calo di balik bocoran jawaban soal UN ternyata terbukti setelah saya membaca berita di harian Kompas bahwa bocoran jawaban UN yang disebarkan ke para siswa, baik melalui SMS maupun lewat bisik-bisik setelah dicocokkan dengan lembar soal ternyata tidak sinkron.

Kemungkinan-keungkinan seperti itu memang telah diperkirakan banyak pihak sejak pelaksanaan UN dijadikan sebagai kebijakan nasional. Pendapat pro dan kontra bermunculan di masyarakat.

Pelaksanaan UN yang serentak di seluruh Nusantara dengan hasil yang mutlak-mutlakan memang membawa ekses tidak baik bagi anak didik. Mereka berusaha mengakalinya bagaimana bisa meraih sukses (lulus) dalam tiga hari pelaksanaan UN dengan berbagai cara, termasuk cara-cara manipulatif. Bagi anak-anak, tiga hari pelaksanaan UN tentunya jauh lebih berharga ketimbang tiga tahun belajar.

Wajar jika banyak orang mengatakan generasi sekarang sebagai generasi instan atau ibarat restoran generasi fast food (makanan cepat saji). Maunya cepat dan lebih mengedepankan hasil daripada proses.

Saya tentu tidak rela dan ikut berdosa jika anak saya terlibat dalam permainan kotor seperti itu. Atau kalaupun sudah terlibat tidak berupaya menghentikannya. Oleh sebab itu sebelum berangkat ke sekolah dan menempuh ujian, saya selalu berdoa bersamanya. “Tuhan, terimakasih, engkau telah menjadikan anak kami sebagai anak yang baik. Kiranya Engkau membimbing anak kami dalam menjawab soal ujian dengan kejujuran,” itulah doa saya kepada-Nya. Kepada siapa lagi saya menaruh harapan jika tidak kepada-Nya?*

Gantyo Koespradono

2 Comments
  1. Anonim says

    tulisan anda bagus.walau saya menangkap adanya pembenaran anak mencari bocoran soal karena anak semata.sesengguhnya itu wajar.
    barusan saya membaca opini di kompas (tgl
    30-04-08). intinya penulis menyatakan kebobrokan UN sekarang bukan semata-mata karena anak,guru,atau orang tua yang mulai mencari-cari cara untuk beradaptasi dengan sistim UN yang sekarang. tetapi malah “sistim UN” yang dibuat pemerintah lah yang harus direfleksikan dan bila perlu dihentikan jika kita masih tidak
    ingin masuk dan menodai derajat pendidikan dan elemen-elemennya.

  2. Terimakasih atas informasi Anda. Hari Senin (28/4) lalu saya wawancara dengan Mendiknas Bambang Sudibyo. Dia mengatakan bahwa UN tahun ini jauh lebih baik daripada UN-UN sebelumnya, sebab ada kejujuran di dalamnya. Memberikan contoh, dia menunjuk berita di Kompas di mana ada siswa yang menangis karena tidak bisa mengisi soal ujian. “Lebih baik tidak lulus tapi jujur daripada lulus tapi curang,” katanya.

Leave A Reply

Your email address will not be published.