MENANTI MAAF BUAT PAK HARTO

0 255


Oleh Gantyo Koespradono

“MENANTI Maaf buat Soeharto.” Inilah tema yang kami (Media Indonesia dan Radio Ramako) angkat dalam acara “Obrolan Sabtu” yang disiarkan Ramako, Sabtu (12 Januari 2008) di Marios Place, Menteng, Jakarta Pusat.

Saat talk show yang menghadirkan tiga nara sumber (Hendardi, Ketua Setara Institut/Gerakan Masyarakat Adili Soeharto; J. Kamaru, mantan Direktur Litigasi Badan Hukum dan HAM DPP Partai Golkar; dan Aqil Mukhtar, anggota Komisi III DPR) itu mengudara, mantan Presiden RI Soeharto masih berbaring tak berdaya di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta.

Di rumah sakit itu, Pak Harto dengan sisa-sisa “kekuatannya” berusaha melawan komplikasi berbagai penyakit yang ada di dalam tubuhnya. Bertindak sebagai pemandu acara (moderator) talk show yang disiarkan berbagai radio di sejumlah kota itu, posisi saya sungguh tidak begitu nyaman. Bagaimana tidak nyaman, sebab dalam acara itu, para nara sumber lebih banyak menyoroti kasus hukum Pak Harto daripada maaf yang sebenarnya ditunggu-tunggu Pak Harto dan keluarganya. Lebih tidak nyaman, sebab acara itu mengudara di saat Pak Harto tidak berdaya.

Membuka acara yang dihadiri banyak wartawan cetak dan elektronik itu, saya melontarkan kalimat seperti ini: “Sampai jam ini, mantan Presiden RI Soeharto masih dalam keadaan kritis. Kondisi kesehatan Pak Harto yang sampai kini masih dirawat di RSPP terus menurun. Tadi malam bahkan sempat beredar SMS yang menginformasikan bahwa presiden kedua Indonesia itu telah meninggal dunia.

Berita terakhir menyebutkan bahwa keluarga Pak Harto sudah ikhlas mengenai apa yang sedang dialami dan bakal menimpa Pak Harto. Di tengah suasana mencekam seperti itu, masih ada sementara pihak yang tetap mempersoalkan status hukum Pak Harto. Kemarin, masih ada beberapa kalangan yang menuntut agar Pak Harto diadili menyangkut tuduhan penyalahgunaan kekuasaan selama 32 tahun menjabat sebagai presiden.

Namun di berbagai tempat, masyarakat juga tetap memanjatkan doa-doa agar Tuhan memberikan mujizat buat Pak Harto. Sebagai manusia, kita tidak tahu mujizat seperti apa yang akan diberikan Tuhan kepada Pak Harto dan keluarganya. Yang pasti sampai saat ini, Pak Harto beserta keluarganya menunggu mujizat berupa maaf dari rakyat yang telah dipimpinnya. Sangat mungkin, menanti maaf dari rakyat merupakan pekerjaan yang sangat sulit dan begitu melelahkan serta menjemukan yang dirasakan Pak Harto.”

Saya sengaja melontarkan kalimat seperti itu, sebab beberapa hari sebelumnya, berbagai tokoh masyarakat, seperti Amien Rais dan Ketua MPR Hidayat Nurwahid menyatakan agar kasus hukum Pak Harto jangan dianggap rampung sekaitan dengan sakitnya Pak Harto. “Pak Harto tetap harus diadili,” tegas Amien Rais (dua hari setelah itu Amien “membatalkan” pernyataannya dan memberikan maaf buat Pak Harto). “Kasus Pak Harto harus diselesaikan secara elegan dengan mengacu kepada Tap MPR,” kata Hidayat Nurwahid. Intinya, dia tetap menghendaki agar Pak Harto diadili.

Benar saja, acara-acara seperti yang saya pandu — juga acara sejenis di banyak radio, televisi dan liputan pers yang sangat terbuka yang memberitakan tentang sakitnya Pak Harto dikaitkan dengan kasus hukumnya — disesalkan banyak pihak. Mereka menyebut, liputan dan pemberitaan pers sudah melanggar etika. Sakit yang diderita seorang pasien (Pak Harto) yang seharusnya dirahasiakan diungkap secara telanjang oleh pers.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada hari yang sama saat talk show yang saya pandu on air mengatakan agar silang pendapat tentang kasus hukum Pak Harto segera diakhiri. Pernyataan SBY ini kemudian dikutip banyak surat kabar keesokan harinya. Media Indonesia sama sekali tidak memuat pendapat para nara sumber yang berbicara pada talk show yang saya pandu. Namun sejumlah surat kabar lain masih memuat statement Hendardi. Beberapa stasiun televisi juga masih menyiarkan acara tersebut.

Dalam talk show itu, Hendardi — dengan dalih hukumnya — memang masih “ngotot” agar Pak Harto diadili. Argumentasinya memang masuk akal. “Saya usul agar Pak Harto diadili justru untuk melindungi Pak Harto. Kalau Pak Harto sudah meninggal dunia, kelak kalau kroni-kroninya diadili, mereka pasti akan menyalahkan Pak Harto yang sudah tidak bisa lagi membela diri. Ini jelas preseden yang tidak baik buat para presiden yang lain jika ada kasus serupa,” katanya.

Saya kemudian bertanya kepada Hendardi, apakah mungkin dengan kondisi seperti ini (Pak Harto sekarat di rumah sakit), pengadilan terhadap Pak Harto dibuka? Hendardi menjawab, proses hukum bisa saja dilanjutkan sepanjang aparat hukum (Kejaksaan Agung) kreatif mencari bentuknya. Dia menyebut pengadilan in-absentia yang tidak mengharuskan Pak Harto hadir di pengadilan. Yang dibutuhkan dalam soal ini, menurut Hendardi, adalah keberanian dan kreativitas.

Hendardi, Kamaru dan Aqil pada talk show itu berbeda pendapat dalam memandang kasus Pak Harto. Kamaru menyarankan agar Kejaksaan Agung melakukan deponering atas kasus Pak Harto. Sedangkan Aqil menyarankan agar SBY mengeluarkan keputusan berupa amnesti atau abolisi (pengampunan) buat Pak Harto. Saran Aqil jelas sulit dilakukan SBY, sebab akan berdampak politis pada pencalonannya kembali sebagai presiden pada Pemilu 2009.

Beruntung, menjelang talk show berakhir, ada seorang pendengar (Pramudianto) yang mencairkan suasana agar melihat fakta yang dialami Pak Harto dan keluarganya dengan kacamata iman kepada Tuhan. Dia mengatakan, pada prinsipnya, Tuhan menciptakan manusia dalam keadaan baik. “Doa yang kita panjatkan sekarang adalah minta kepada Tuhan agar Pak Harto kembali kepada-Nya dalam keadaan baik sama seperti ketika dia dilahirkan,” katanya.

Soal kasus hukum yang ditimpakan kepada Pak Harto, Pramudianto berharap agar bisa dijadikan pembelajaran bagi bangsa ini, sehingga ke depan, bangsa ini bisa memilih pemimpin yang benar-benar baik, bersih dan jujur. Tahun 2008 adalah momentum untuk belajar dan berproses memilah serta memilih pemimpin bangsa yang mumpuni, sehingga pengalaman buruk — apa pun pengalaman itu — tidak terulang.***

Leave A Reply

Your email address will not be published.