KICK ANDY: PANGGILAN HATI
WRITENOW (Senin 10 November 2008): “Panggilan Hati” Inilah tema yang diusung Kick Andy yang ditayangkan televisi berita itu pada hari Jumat (7 November) dan disiarkan ulang pada Minggu (9 November). Sangat menyentuh dan inspiratif.
Pada episode itu, Kick Andy menghadirkan sejumlah nara sumber atau tokoh Tati Suprapti, seorang ibu rumah tangga; Yovita Meta, perempuan pekerja sosial, dan Mulyadi Irawan, relawan yang peduli kepada para pecandu narkoba.
Mendengar dan mengetahui kiprah mereka, layak kalau mereka mendapat penghargaan sebagai pahlawan, sebab apa yang mereka lakukan benar-benar mengandung nilai kepahlawanan. Punya semangat memberi tanpa mengharapkan balasan. Pengabdian mereka sungguh amat langka di negeri ini. Mereka mengorbankan waktu, pikiran dan tenaga, bahkan uang untuk membantu sesama.
Tati Suprapti misalnya. Dia ‘hanya’ seorang ibu rumah tangga yang tinggal di daerah Kelapa Dua, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Kepada Andy Noya yang memandu Kick Andy, Neneng — begitu dia biasa disapa — mengaku prihatin terhadap terbatasnya akses pendidikan usia dini untuk anak-anak warga sekitarnya.
Kelapa Dua ada di Jakarta. Tapi ternyata masih sangat banyak warganya yang tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya, terutama para warga yang berprofesi sebagai pekerja informal, seperti buruh cuci baju, tukang ojek, pemulung atau pembantu rumah tangga.
Neneg miris melihat kenyataan itu. Terpanggil hatinya untuk membantu mereka, Neneng merelakan garasi dan teras rumahnya digunakan untuk tempat belajar anak-anak usia pra sekolah dan taman kanak-kanak. Diiringi pemikiran untuk bisa menjaga kesinambungan belajar mengajar di tempatnya, Neneng mengajukan proposal bantuan dana ke sejumlah instansi atau perusahaan.
Gayung bersambut, upayanya didukung beberapa perusahaan dengan memberinya bantuan dana. Berkat suntikan dana tersebut, Neneng bisa mendirikan sekolah dan taman bermain 2 lantai di tanah miliknya, yang kemudian dinamai Rumah Srikandi.
Di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Proses pendidikan pun terus berkembang. Tak hanya bagi anak-anak, para ibu yang menunggui anak-anaknya diberi pelatihan dan keterampilan, seperti memasak, pembuatan prakarya bahan ajar, kursus desain dan menjahit hingga keterampilan yang profitable lainnya. Sementara para pemuda diberi kesempatan training perbengkelan sepeda motor.
Lain Neneng lain pula Yovita Meta, perempuan yang mampu mengangkat taraf ekonomi dan sosial masyarakat sekitar, sekaligus pelestarian budaya lokal secara bersamaan. Kemiskinan, status sosial perempuan yang terpinggirkan serta ancaman punahnya kain tenun ikat khas di daerah Biboki, Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur menggugah perasaannya.
Menurut Yovita, penghargaan terhadap hasil pekerjaan perempuan Biboki sangat rendah. “Dulu, untuk selembar kain tenun ikat, hanya dihargai seikat jagung atau uang lima ribu rupiah,” kata Yovita sebagaimana dikutip situs Kickandy.com.
Kenyataan itu mendorongnya untuk mendirikan Yayasan Tafean Pah. Yayasan inilah yang digunakan untuk menampung dan mengembangkan keterampilan menenun kain ikat Biboki.
Dari hanya melibatkan 7 orang ibu-ibu dan janda, kini Yayasan Tafean Pah mampu memayungi sekitar 700-an penenun Biboki di seluruh kawasan Timor Tengah Utara. Selain meningkatkan keahlian menenun, Yovita juga mendidik mereka tentang strategi dan teknik-teknik pemasaran. Berkat kerja keras Yovita, saat ini kain tenun Biboki telah merambah ke berbagai daerah Indonesia, bahkan namanya telah mendunia.
Kain tenun yang awalnya hanya seharga seikat jagung, kini harganya bisa mencapai jutaan rupiah. Bahkan pada tahun 2003 lalu, Yovita Meta dan para penenun Biboki mendapatkan penghargaan dari Prince Claus Award dari Belanda. Penghargaan bidang pembangunan dan kebudayaan ini diberikan sebagai pengakuan atas prestasi Yovita mengangkat derajat kaum perempuan Biboki, perekonomian warga Timor Tengah Utara dan juga melestarikan budaya lokal Biboki.
Panggilan hati Mulyadi Irawan malah lebih spektakuler. Demi panggilan hati, dia melepaskan karier dan lingkungan yang nyaman di Jakarta. Ke Semarang, dia mendirikan Rumah Damai untuk membantu pemulihan para mantan pecandu narkoba.
Panggilan hati itu muncul setelah Mulyadi merasa terlambat menyelamatkan salah seorang keponakan kesayangannya yang meninggal karena overdosis narkoba. Mulyadi lalu mengajak serta istri dan anak-anaknya menyepi ke Gunung Pati. Daerah yang masih termasuk kawasan pinggiran hutan di kawasan Semarang Jawa Tengah. Di Gunung Pati, Mulyadi mendirikan sebuah rumah penampungan dan rehabilitasi pecandu narkoba, yang diberi nama Rumah Damai.
Perjuangan Mulyadi Irawan untuk menyembuhkan para mantan pecandu narkoba tidaklah semulus bayangannya. Bahkan sempat terbersit keinginan Mulyadi untuk menutup Rumah Damai. Rasa frustrasi yang hebat melandanya, saat keinginan dan keikhlasannya berkorban, dibayar oleh para penghuni dengan tidak sepantasnya. “Pernah suatu ketika saat sedang keluar rumah, saya kaget melihat ada petani tetangga kok mengenakan baju saya. Saat saya tanya, ternyata baju saya itu ditukar oleh anak-anak Rumah Damai demi sebungkus rokok. Bagitu juga barang-barang lain yang ada di rumah,” kenang Mulyadi.
Namun saat akan menutup Rumah Damai, sebuah hal yang tak terduga membuatnya berubah pikiran dan membuang jauh-jauh rencananya. Saat memberikan renungan penutupan Rumah Damai, anak-anak asuhnya menangis. Ketika dilanda kebimbangan menutup atau tetap melanjutkan panggilan hatinya tentang rumah damai itu, Tuhan tiba-tiba berkata kepadanya: “Lanjutkan.”
Hingga kini, Rumah Damai tetap berdiri dan mampu meluluskan lebih dari 400 orang mantan pecandu narkoba dari berbagai daerah di Indonesia dalam kondisi sembuh total. Benar-benar terbebas dari jeratan narkoba secara total.
Untuk mempertahankan Rumah Damai, Mulyadi benar-benar telah mengorbankan diri. Cincin kawin istrinya bahkan dijualnya untuk membiayai Rumah Damai.
Sebagaimana telah disinggung di atas, keinginan kuat Mulyadi Irawan untuk mendirikan rehabilitasi narkoba muncul ketika keponakannya meninggal akibat over dosis pada Oktober 1998. Peristiwa itu memukul sekaligus menggugah kesadarannya. Apalagi dua hari sebelum kejadian, Mulyadi sudah berencana membawa saudaranya ke Semarang, menjauhkan dari lingkup narkoba.
Tak menunggu lama, di bulan yang sama, sebagaimana ditulis di Media Indonesia (Minggu 9 November 2008), dia memutuskan mengajukan surat pengunduran diri sebagai Direktur Operasi PT Rajawali Adiwisma. Kemapanan dan kesuksesan karier dengan penghasilan di atas Rp20 juta pada 1998 tak bisa menghalangi panggilan hatinya. Tekad Mulyadi bulat, mendirikan tempat rehabilitasi bagi korban narkoba.
“Tapi karena masih ada proyek yang tak boleh ditinggalkan, saya baru bisa mundur pada Januari 1999. Masalah terberat ada pada anak-anak. Awalnya tiga anak saya tidak mau meninggalkan Jakarta. Syukur, istri saya mendukung segala langkah untuk membebaskan generasi muda dari narkoba,” kisahnya.
Bermodal kekuatan tekad, pada Januari 1999 ia dan keluarga akhirnya berangkat ke Semarang. Ia juga langsung menyertakan tujuh anak korban narkoba. Tak ada keraguan, meski waktu itu tempat rehabilitasi yang ia impikan belum ada. Dengan bantuan salah satu gereja di Semarang, ia mendapat pinjaman rumah di sekitar Ungaran. Di sanalah mereka tinggal untuk sementara waktu.
Sementara waktu? Begitulah. Berbekal tabungan dan hasil penjualan rumah di Jakarta, Mulyadi langsung memulai proyek pembangunan rumah rehabilitasi. Selama sekitar enam bulan, bangunan yang kemudian dinamakan Rumah Damai berdiri di atas tanah seluas 1,5 hektare.
“Pada waktu itu, hanya saya dan suami yang mengurus anak-anak korban narkoba. Tidak ada pembantu sama sekali. Saking sibuknya, kami tidak sempat memikirkan betapa susahnya kehidupan kami di sana. Saya dan suami tetap berupaya menyembuhkan tujuh anak yang kami bawa dari Jakarta sambil memikirkan pembangunan Rumah Damai,” kenang Felicia Sutanto, istri Mulyadi yang setia mendampingi.
Rumah Damai tidak menerapkan cara-cara modern atau medis dalam upaya menyembuhkan para pecandu narkoba dari ketergantungan. Cara yang dijalankan lebih pada penekanan ‘kasih’. Rumah itu benar-benar dijadikan sebagai rumah dan Mulyadi serta istri berperan menjadi orang tua. Dalam upaya penyembuhan, mereka hanya bekerja sama dengan gereja. Gereja yang dimaksud adalah Gereja Jemaat Kristen Indonesia (JKI).
Mulyadi berpendapat segala cara sudah ditempuh baik medis, penjara, ataupun hukuman mati, tetapi angka pecandu terus naik. Karena itu, pendekatan agama dijadikan pilihan, mendekatkan diri pada Tuhan guna menjauhkan penderita dari lingkungan mereka.
“Kita memang memakai pendekatan agama. Tapi siapa pun bisa direhab di Rumah Damai. Tidak harus Kristen atau Katolik saja. Sampai saat ini, Rumah Damai sudah berhasil menyembuhkan sekitar 470 orang,” ujarnya di sela acara Kick Andy.
Mulyadi mewajibkan setiap orang yang masuk ke Rumah Damai untuk tinggal selama setahun, tidak boleh kurang tapi boleh lebih. Waktu penyembuhan dibagi menjadi tiga fase. Tiga bulan pertama digunakan untuk penyembuhan, enam bulan berikutnya pemulihan dan penumbuhan karakter, tiga bulan terakhir untuk sosialisasi. Namun, jika ada di antara mereka yang ingin tetap menetap, Mulyadi tidak melarang.
“Selama tahap penyembuhan, mereka sama sekali tidak boleh keluar dari Rumah Damai. Selama masa pemulihan, mereka diizinkan keluar dengan didampingi. Setelah setahun, mereka baru boleh kembali ke keluarga,” jelasnya.
Rumah Damai tidak mematok biaya sama sekali. Bantuan keuangan diberikan secara sukarela, termasuk mereka yang datang dari keluarga mampu. Selama ini yang tinggal di Rumah Damai lebih banyak dari keluarga kurang mampu. “Ada di antara mereka yang tidak bisa mengeluarkan uang sama sekali. Tidak masalah, karena ini bukan rumah komersial,” tukas Mulyadi yang sampai sekarang masih setia pada tekadnya untuk memerangi narkoba dan menyembuhkan generasi muda harapan bangsa. ***
Gantyo Koespradono
Huff ternyata msih ad jg b’brapa manusia yang memiliki jiwa sosial yg sngat tinggi dgn memberi tnpa pamrih…(Hri gni ngasih tanpa pamrih??? buang air aj byar.. )
Smoga trus bertmbah,n bertumbuh manusia2 hebat seperti itu… SALUT Buat mereka!!!!…
GBU all