BETTI ALISJAHBANA DAN SEMANGAT INTRAPRENEURSHIP

1 339

WRITENOW (Minggu 25 Januari): Menemani teman-teman saya anggota milis Indonesia Young Entrepreneurship (IYE), Kamis (22/1) saya berkesempatan ikut taping acara Welcome to BCA di Metro TV. Salah satu topik yang diangkat dalam acara itu adalah intrapreneurship dengan nara sumber Betti Alisjahbana.

Lebih dari 20 tahun, Betti berkecimpung di dunia teknologi informasi. Persisnya selama itu dia jadi orang gajian di PT IBM. Sampai dengan Januari 2008, Betti adalah presiden direktur di perusahaan tersebut. Ia adalah perempuan pertama di IBM Kawasan Asia Pasifik yang dipercaya untuk memimpin operasi IBM di suatu negara.

Namun setahun yang lalu dia memutuskan “cabut” dari perusahaan bergengsi tersebut. Dia tinggalkan jabatan bergengsi dengan gaji yang pasti terbilang besar. Dia memutuskan pindah kuadran dari orang gajian menjadi orang yang menggaji orang.

Betti lantas mendirikan dan memimpin QB Creative (PT Quantum Business International) yang bergerak di industri kreatif. QB Headlines, QB Architects, QB Furniture dan QB Creative IT adalah empat bidang bisnis yang digelutinya saat ini.

Benar, cuma segelintir orang yang berani ambil keputusan seperti Betti. Sebagian besar anggota IYE pun belum memutuskan 100 persen sebagai seorang entrepreneur. Status mereka, lebih dari 50 persen adalah karyawan alias “salary-man.” Lho, kok masuk anggota milis IYE? “Ya, saya ingin belajar dari para anggota agar berani memutuskan menjadi seorang entrepreneur,” begitu alasan beberapa anggota IYE.

Karena berstatus sebagai karyawan tak ada salahnya kalau langkah pertama sebelum memutuskan “selamat tinggal” orang gajian lebih dulu menjadi seorang intrapreneur.

Menjawab pertanyaan Ferdy Hasan yang menjadi host Welcome to BCA, Betti Alisjahbana menjelaskan bahwa intrapreneurship adalah sebuah kegiatan di mana seorang karyawan belajar menjadi pengusaha di perusahaannya sendiri. Intrapreneurship di sini mencakup memunculkan gagasan baru yang jika dilaksanakan dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan dan karenanya karyawan yang bersangkutan mendapatkan fee atau insentif khusus di luar gaji.

Dalam artikelnya di situs qbheadlines.com, Betti Alisjahbana menulis, intrapreneurship adalah sebuah strategi untuk menstimulasi inovasi dengan memanfaatkan bakat-bakat kewirausahaan dengan lebih baik.

Ketika intrapreneurship ini didorong dan disalurkan, menurut dia, intrapreneurship bukan hanya mendorong inovasi, tapi juga akan membantu pegawai yang mempunyai ide-ide bagus menyalurkan sumber daya perusahaan untuk membangun produk-produk yang lebih unggul.

Dengan mendorong budaya intrapreneur dalam perusahaan, tulis Betti Alisjahbana, pegawai dapat diberdayakan menjadi agen perubahan dalam perusahaan. Dengan begitu, mereka merasa nyaman menampilkan ide-ide baru dan mendorong agar ide-ide tersebut dilaksanakan.

Agar intrapreneurship dapat tumbuh subur dalam perusahaan, masih menurut Betti Alisjahbana, penting dibangun lingkungan yang merangsang pegawai yang berbakat untuk melakukan inovasi, dengan memberikan kebebasan dan mendukung mereka dengan sumber daya agar inovasi yang dihasilkan bisa dibawa ke pasar dengan cepat.

Persoalannya, teori sering berbeda dengan praktek. Faktanya, banyak perusahaan atau pimpinan perusahaan yang “alergi” jika karyawannya punya ide baru dan ide tersebut mendatangkan pendapatan ekstra buat yang bersangkutan. Banyak argumen yang biasanya dilontarkan, seperti “lho, kamu kan digaji memang untuk melahirkan ide-ide baru.”

Atau, seperti diakui Betti Alisjahbana, pimpinan perusahaan sengaja mementahkan ide anak buahnya, karena belum apa-apa ide tersebut dianggap tidak punya dampak apa-apa buat perusahaan.

Karena tidak mendapatkan apresiasi, banyak karyawan yang akhirnya malas menelorkan gagasan-gagasan baru buat kemajuan perusahaannya. Padahal, menurut Betti Alisjahbana, para karyawan — apalagi yang bertugas di lapangan — yang paling mengetahui apa yang dibutuhkan pasar.

Oleh sebab itu, saran Betti Alisjahbana, pimpinan harus bersedia untuk mendengar dan menghargai ide-ide yang bagus dari siapa pun sumbernya. Harus dibangun lingkungan di mana ide-ide pegawai yang dipresentasikan dengan bagus dipertimbangkan secara sungguh-sungguh.

Betti Alisjahbana mengingatkan, banyak entrepreneur membangun suksesnya dari kegagalan-kegagalan kecil, disertai dengan pelajaran yang diperoleh dari masing-masing kegagalan tersebut yang pada akhirnya mengantarkan mereka pada keberhasilan.

Sangat penting bagi perusahaan untuk dalam skala tertentu memperbolehkan kegagalan yang tidak bisa dihindari dalam pelaksanaan proyek dan inisiatif baru yang muncul dari para karyawan yang sebenarnya memiliki jiwa entrepreneurship. Beri kesempatan mereka untuk menjadi intrapreneur.

Menurut Betti Alisjahbana, memberikan kesempatan kepada karyawan untuk menjadi intrapreneur jauh lebih baik daripada akhirnya keluar dari perusahaan karena memendam rasa kecewa dan lalu menjadi pesaing perusahaan.***

Gantyo Koespradono, dikutip dari blog saya di Media Indonesia.

1 Comment
  1. Kuyus is cute says

    Being enterpreneur is not that easy. Tapi selama ada kemauan untuk belajar, semua pasti bisa.

    Saya juga sedang menemukan kendala untuk itu. Mungkin tidak adil bila menyalahkan lingkungan yang belum mendukung atas kegagalan kita.

    Karenanya saya sedang berdamai dengan fikiran saya untuk belajar menemukan celah yang terbaik sesuia kondisi saya saat ini.

Leave A Reply

Your email address will not be published.