MEMAKAMKAN KORBAN PEMBUNUHAN

2 322

KARENA pendeta sedang cuti, teman-teman pengurus gereja (majelis), Selasa malam (1 November 2011) meminta saya untuk memimpin prosesi pemakaman salah seorang keponakan warga gereja kami. Sang keponakan ternyata korban pembunuhan.

Prosesi pemakaman yang saya pimpin di Taman Pemakaman Umum (TPU) Selapajang, Tangerang berlangsung Rabu (2 November 2011) pagi, hanya dihadiri beberapa warga gereja kami dan anggota keluarga almarhum (tidak sampai 15 orang).

Buat saya, memakamkan seseorang di pekuburan pada hari itu merupakan pengalaman pertama. Beberapa tahun lalu saya pernah memimpin acara pelepasan jenazah seorang polisi sebelum diserahkan kepada negara. Karenanya saya tidak sampai memimpin prosesi pemakaman.

Lubi Puryanto, almarhum, sama sekali tidak saya kenal, sebab yang bersangkutan bukan warga gereja kami. Namun karena sang paman menyerahkan pelayanan pemakaman sang keponakan kepada gereja kami, tak kuasa kami menolak.

Saya tidak menyangka, ternyata almarhum masih belia, usianya baru 18 tahun. Saya lebih terkejut lagi, sebab remaja pria ini dalam usianya yang masih sangat muda itu sudah berstatus sebagai suami. Dia meninggalkan seorang istri yang berusia sebaya dan sedang mengandung delapan bulan.

Saya pastinya juga tidak tahu seperti apa karakter Puryanto, sehingga ada orang yang tega membunuhnya. Dari sang paman dan ayahnya, Asbikin, saya dapat informasi, sehari-hari Puryanto bekerja sebagai “pembantu” pada pedagang buah di Pasar Induk Tanah Tinggi, Tangerang.

Mayat Puryanto ditemukan warga Tangerang di gorong-gorong tak jauh dari pasar tersebut pada Senin 31 Oktober 2011 pukul 06.30. Tubuhnya penuh bacokan dan tusukan benda tajam/runcing (ganco).

Seperti lazimnya korban pembunuhan, polisi membawa jenazah ke Rumah Sakit Umum (RSU) Tangerang untuk diautopsi. Polisi juga sudah memeriksa sejumlah saksi, antara lain Neneng Setiawati, sang istri.

Saya berharap polisi Tangerang dapat membongkar kasus ini, meskipun skeptis, akankah polisi menindaklanjuti peristiwa kriminal ini, apalagi keluarga Puryanto sepertinya sudah pasrah dengan tewasnya remaja yang tumbuh “dewasa” tapi belum waktunya itu.

Berusaha mencari tahu siapa sesungguhnya Puryanto, saya akhirnya mengira-ira, lelaki kecil itu dibiarkan hidup mandiri tanpa kontrol dari orang tua dan sanak saudara. Dia indekos bersama teman-temannya dekat RSU Tangerang. Sang ayah, Asbikin, tinggal di Magelang, sedangkan ibunya menjadi TKI di Malaysia.

Dari internet, saya menemukan data, Lubi Puryanto pernah sekolah di Sekolah Menengah Kejuruan YP Karya, Cipondoh Tangerang. Asbikin menjelaskan, anaknya tidak tamat dari sekolah itu.

Yang mengherankan saya, mengapa dalam usia 18 tahun, dia sudah berstatus menikah? Besar kemungkinan Puryanto — juga istrinya ketika itu — belum paham apa itu seks dan bagaimana menggunakannya dengan baik dan benar.

Lingkungan yang tidak kondusif memungkinkan Puryanto untuk terbiasa hidup keras dan (mungkin) kejam. Masyarakat Kota Tangerang mengenal Pasar Induk Tanah Tinggi sebagai daerah yang rawan dan penuh dengan kekerasan.

Googling di internet saya menemukan sejumlah fakta tak sedap yang pernah terjadi di pasar itu. Pada 19 September 2009, Agus (33), pedagang kentang dan kol di pasar itu ditemukan tewas di rumah kontarakannya di Kampung Gambiran RT 03/12, Gang Kikil, Kelurahan Tanah Tinggi, Kota Tangerang.

Beruntung polisi sigap dan berhasil menangkap sang pembunuh (Haris) yang tak lain adalah tetangga Agus. Mengapa Haris membunuh Agus? Persoalannya ternyata sepele, Haris tidak menerima saat ditegur korban, gara-gara Haris menyetel TV dengan suara keras.

Pada pertengahan Januari 2010, Julius Sinulingga (30), seorang kuli panggul tewas dibunuh tiga temannya. Pembunuhan tersebut terjadi setelah mereka menenggak minuman keras di pasar tersebut.

Masih di bulan dan tahun yang sama, Jhon Lius Kesar tewas di pasar itu setelah berkelahi dengan seseorang. Ditusuk-tusuk dengan senjata tajam sebanyak enam kali, Jhon luka parah. Dia terhuyung-huyung bersimbah darah dan akhirnya meregang nyawa.

Saya menduga apa yang dialami Puryanto mirip dengan Jhon Lius. Apa penyebabnya, untuk sementara ini hanya sang pelaku yang tahu. Sekali lagi, saya berharap polisi dapat menangkap para pelaku.

Saat dimasukkan ke peti jenazah di RSU Tangerang, jasad Puryanto sudah kaku, sehingga kami tidak bisa mengenakan pakaian ke tubuh anak muda itu. Mayat Puryanto hanya kami bungkus dengan kain.

Awan menutupi langit TPU Selapajang Tangerang. Meskipun ayah dan istri Puryanto berbeda keyakinan, mereka mengikuti prosesi pemakaman yang saya pimpin secara kristiani. Neneng Setiawati yang mengenakan jilbab terus menitikkan air mata, sementara Asbikan tampak sedih. Keduanya saya peluk saat saya memanjatkan doa.

Semoga lagu di dalam Kidung Jemaat No 410 “Tenanglah Kini Hatiku” dapat menghibur dan menguatkan mereka:

Tenanglah kini hatiku
Tuhan memimpin langkahku
Di tiap saat dan kerja tetap kurasa tangan-Nya
Tuhanlah yang membimbingku tanganku dipegang teguh
Hatiku berserah penuh tanganku dipegang teguh.***

2 Comments
  1. Unknown says

    terharu mas, aku

  2. Terimakasih atas respons yang diberikan. Itulah kehidupan.

Leave A Reply

Your email address will not be published.