Orang Miskin, “Maaf tak Ada Tempat Bagimu”
ORANG miskin yang sedang sakit di Tangerang ibarat nasib Yesus Kristus saat masih dikandung Maria, ke sana kemari ditolak.
Orang Kristen pasti sangat paham betul ketika Maria mengandung bayi Yesus. Bersama tunangannya, Yusuf, Maria berusaha mencari penginapan, karena kandungannya, mungkin sudah pada posisi pembukaan 9.
Khawatir Maria melahirkan di jalan, Yusuf minta bantuan ke banyak orang. Dia mengetuk pintu rumah dan penginapan (mungkin juga rumah sakit), memohon sang penghuni memberikan pertolongan, tapi tak seorang pun yang sudi memberikan pertolongan dan tumpangan.
Saat Yusuf dan Maria minta belas kasihan, orang-orang yang dijumpainya (berdasarkan tafsir saya) berkata: “Memangnya kamu siapa. Maaf, tak ada tempat bagimu.”
Akhir dari kisah Yusuf-Maria, Yesus pun lahir di sebuah kandang domba. Versi lain, Yesus lahir di sebuah rumah milik seseorang. Namun, karena tidak ada kamar, Yusuf-Maria ditempatkan di dapur yang ada lesungnya. Di sinilah Yesus lahir.
Nasib seperti itu pulalah yang dialami banyak warga tidak mampu di beberapa kota, seperti Jakarta dan Tangerang. Meskipun sang pemangku kebijakan telah mengeluarkan kebijakan mulia (kartu sehat untuk DKI Jakarta) dan pengobatan gratis “multiguna” asal punya KTP (Tangerang), warga di dua kota bertetangga ini tetap mengalami kesulitan saat akan berobat, atau mungkin saat akan mati.
Masyarakat tentu masih ingat betul, fakta seperti itulah yang menimpa Dera, bayi berusia empat hari, anak pasangan Eliyas Setya Nugroho dan Lisa Darawati pada Februari 2013. Dera lahir tidak normal.
Eliyas beserta ayahnya, Hermansyah, sudah berkeliling ke 10 rumah sakit di Jakarta, yaitu RS Fatmawati, RSCM, RS Harapan Kita, RS Harapan Bunda Pasar Rebo, RS St Carolus, RS Asri, RS Tria Dipa, RS Budi Asih, RS JMC, dan RSPP (Tribunnews.dom). Namun, tak satu pun rumah sakit itu yang sudi merawat Dera dengan alasan kamar penuh.
Tuhan rupanya lebih sayang kepada Dera. Bayi yang masih merah itu pun diambil-Nya kembali. Ya, Dera meninggal dunia. Tuhan rupanya tidak tega melihat orangtua Dera mengalami penderitaan yang berkepanjangan. Saya hanya bisa berharap, semoga alasan rumah sakit menolak Dera (kamar dan tempat tidur penuh), benar-benar didasarkan faktanya memang begitu, bukan karena tak sudi merawat Dera, lantaran orangtuanya miskin, meskipun menurut pengakuan orangtua Dera, ada beberapa rumah sakit (dari 10 rumah sakit yang didatangi) saat itu menerapkan prinsip “bayar dulu, dong”.
Eni dirawat di Rumah Sakit Siloam, Karawaci, Tangerang
Nasib seperti itu pulalah yang dialami Eni, perempuan paruh baya yang pernah membantu cuci setrika di rumah tangga kami. Sudah hampir setengah tahun ini Eni tidak “bekerja” di rumah kami dan beberapa tetangga, karena pinggangnya sering pegal dan ngilu. Sebelum memutuskan tidak lagi membantu kami, Eni sempat menjalani fisioterapi gratis atas bantuan istri saya dan teman gereja kami.
Setelah badannya (menurut pengakuannya) agak lumayan setelah difisioterapi, Eni memutuskan untuk tetap tidak membantu kami dan juga tetangga sebelah rumah kami. “Takut sakit lagi,” kata Eni.
Lama tak mendapat kabar, kami mendengar Eni sakit. Rabu (27 Maret 2013), ibu dan adiknya datang ke rumah kami menjelaskan kondisi terakhir Eni. Menurut sang ibu – biasa dipanggil Ibu Mun –, Eni sudah tidak bisa lagi berdiri. Kondisinya sangat lemah. Dia tidak bisa lagi buang air seni secara normal, tapi harus dengan alat bantu kateter.
Sempat memeriksakan diri ke dokter dan dirawat di rumah sakit, tapi tidak lama, sebab setelah itu Eni diminta pulang. Dalam kondisi tak berdaya, Eni akhirnya hanya didiamkan begitu saja oleh keluarganya di rumah kontrakannya yang sangat sederhana di kawasan Blok Malang, Poris Plawad, Cipondoh, Tangerang. Belakangan diketahui, Eni menderita penyakit miom yang sudah parah. Itu keterangan Ibu Mun mengutip penjelasan dokter.
Nah, ini kabar yang tidak sedap. Keluarga Eni berniat memeriksakan lagi Eni ke rumah sakit, syukur-syukur bisa dirawat. Tapi, menurut Ibu Mun, pihak rumah sakit menolak dengan berbagai alasan. Ibu Mun menjelaskan, pernah suatu hari Eni dibawa ke RS Sitanala (milik pemerintah), tapi ditolak dengan alasan peralatan rumah sakit ini tidak lengkap.
Mereka lantas mendatangi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tangerang dengan hanya bermodalkan KTP dan Kartu Keluarga. Lagi-lagi, Eni ditolak. Pihak rumah sakit menjelaskan, kamar kelas tiga sudah penuh.
Untuk diketahui, Pemerintah Kota Tangerang mempunyai program multiguna, yaitu pemberian perawatan gratis bagi warga Tangerang di kelas tiga rumah sakit pemerintah dan swasta. Syaratnya warga yang sakit cukup menunjukkan KTP Tangerang dan Kartu Keluarga guna membuktikan bahwa yang bersangkutan adalah warga kota Tangerang.
Sebuah program yang menurut saya sangat mulia. Tapi, ya itu, fasilitas kamar kelas tiga rumah sakit tidak banyak, sehingga banyak pasien ditolak di rumah sakit. Mudah-mudahan faktanya benar demikian dan bukan akal-akalan rumah sakit untuk menolak pasien berkatagori miskin. Solusinya, pemerintah mesti memberikan bantuan kepada rumah sakit untuk memperbanyak ruang perawatan kelas tiga.
Keluarga Eni hanya bisa pasrah. Eni benar-benar berasal dari keluarga tidak mampu. Gopar, suaminya, hanya seorang penarik becak. Pendapatannya sehari Rp 10.000-Rp 20.000. “Saya tidak sanggup membiayai Eni berobat. Tidak ada yang bisa saya jual, karena saya memang tidak punya apa-apa,” kata Gopar kepada saya.
Gopar dan Eni punya tiga anak. Yang besar (laki-laki) hanya lulusan SD seperti bapak dan ibunya, begitu juga yang nomor dua (juga laki-laki). Anaknya yang nomor satu pernah bekerja sebagai buruh bangunan, tapi kini tidak lagi bekerja, hanya menunggu ibunya yang tak berdaya. Begitu pula dengan yang nomor dua, menganggur.
Anaknya yang nomor tiga (perempuan) kini duduk di bangku SMP. Saya bersykur mempunyai istri yang bijaksana, karena sejak Eni membantu kami hingga sekarang, istri berkomitmen membiayai anak ketiga Gopar-Eni hingga lulus SMA. Syukur-syukur sih bisa sampai kuliah.
Saat Eni masih membantu kami dan tetangga sebelah, penghasilan Eni bisa menopang ekonomi keluarganya. Tapi, setelah Eni tidak lagi bekerja, “penghasilan saya hanya dari menarik becak,” kata Gopar.
Mengetahui kondisi Eni seperti itu, saya, istri dan ditemani tetangga (Ny Edi Sumiar), pada Kamis seusai magrib 28 Maret 2013, mengantar Eni ke Rumah Sakit Umum Siloam di kawasan Karawaci, Tangerang. RS ini juga menerima pasien dengan fasilitas/program multiguna Pemkot Tangerang.
Ya, ampun! Kondisi Eni sudah sangat memprihatinkan. Dia sudah lumpuh saat kami jemput di rumah kontrakannya. Saat digotong ke mobil, dia hanya bisa bersuara lirih: “Allahu Akbar”. Di kening sebelah kanan sudah tumbuh benjolan sebesar jeruk nipis. Saya tidak tahu, ini benjolan apa, sebab setahu saya, saat Eni masih membantu di rumah kami, benjolan itu belum ada.
Meluncur ke RS Siloam, saya berharap-harap cemas, bisakah Eni dirawat di rumah sakit tersebut? Sepanjang perjalanan, saya berdoa di dalam hati kiranya Tuhan menolong Eni dan ada stok kamar/ruang/tempat tidur di RS Siloam.
Saya kemudian ingat ayat-ayat dalam Alkitab yang di dalamnya ada cerita tentang Siloam. Rumah sakit itu diberi nama Silom tentu memiliki latar belakang. Siloam adalah sebuah kolam air di Yerusalem yang berfungsi sebagai tempat persediaan air. Sejak zaman Daud, kolam Siloam menjadi sumber air suci yang digunakan dalam upacara-upacara di Bait Allah. Kolam ini menjadi sumber air bagi seluruh kota Yerusalem.
Air tentu memberi kesejukan. Saya berharap rumah sakit ini bisa memberikan kesejukan buat keluarga Eni setelah sebelumnya ditolak di rumah sakit lain.
Di rumah sakit itu, Eni ditampung (untuk sementara) di Unit gawat Darurat. Pihak rumah sakit menjelaskan Eni malam itu harus periksa darah dan rontgen dengan total biaya Rp 450.000-an. “Jika di sini tidak ada kamar, maka Eni harus dibawa pulang dan keluarga harus membayar biaya itu, siapa yang bertanggung jawab? Tapi, kalau ada kamar, biaya sebesar itu gratis melalui multiguna,” kata petugas.
Mendengar pertanyaan itu, saya langsung menjawab: “Saya yang bertanggung jawab.”
Hingga pukul 23.00, belum ada kabar dari paramedis, Eni diharuskan pulang malam itu atau harus dirawat. Sekitar pukul 23.30, baru ada keputusan bahwa Eni harus dirawat. Persoalannya, apakah ada ruang kosong untuk merawat Eni?
Untuk memastikan apakah ada kamar kosong, keluarga harus mendaftar dulu di bagian pendaftaran. Saya kemudian mengantar Gopar ke bagian pendaftaran. Karena Gopar tidak bisa menulis, saya yang mengisi formulir pendaftaran.
Setelah itu, petugas mencari informasi apakah ada ruang kosong melalui layar komputer, juga menelepon ke bagian perawatan. Lagi-lagi saya hanya bisa berdoa: “Tuhan, siapkan kamar buat Eni.” Jujur, saya tidak mencemaskan dengan biaya Rp 450.000, tapi mencemaskan Eni jika harus dibawa pulang dalam kondisi seperti itu.
Allahu Akbar! Puji Tuhan! Tuhan Mahabaik. Ada ruang perawatan buat Eni. Perempuan tak berdaya ini akhirnya masuk ke kamar perawatan di RS Siloam. Semoga Tuhan melalui para dokter dan perawat di sini bisa memberikan air kesejukan buat Eni, sehingga Eni dapat sembuh seperti sedia kala.