Merayakan Kehidupan di Saat Kematian Mengintai

0 245


DALAM keadaan tak berdaya setelah mengetahui dirinya menderita gagal ginjal kronis, apa yang dilakukan Yahya Tirta Prewita?

Merayakan kehidupan. Itulah yang dilakukan pendeta Gereja Kristen Jawa (GKJ) Purwantoro, Jawa Tengah ini saat kematian (berdasarkan logika manusia) mengintainya.


Ia diketahui mengidap gagal ginjal kronis setelah melakukan pemeriksaan USG dan rhenogram  pada Maret 2013 lalu. Dari hasil laboratorium berkala, dokter menyimpulkan ketidakberesan pada ginjalnya bersifat tetap dan tidak dapat dipulihkan.

Secara medis atau logika kedokteran, alternatif terapi yang dapat dipilih untuk memperpanjang hidup Pdt Yahya Tirta ada tiga, yaitu:

1.      Transplantasi ginjal.
2.   Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD). yaitu proses cuci darah  dengan cairan di kantong dalam perut yang bisa dilakukan sendiri tanpa perlu mesin cuci darah seperti yang biasa dilakukan di rumah sakit.
3.    Hemodialisis atau cuci darah dengan mesin di rumah sakit.

Menyerahkah Yahya Tirta mendengar alternatif yang ditawarkan dokter? Tentu saja tidak. Dengan mantap, ia berkata: “Saya bersedia melakukan transplantasi ginjal.”

Keputusannya itu diambil setelah dia berkonsultasi dengan Dr David dan Egi E. Manuputti di Rumah Sakit PGI Cikini, Jakarta, 25-26 Juni 2013 lalu. Yahya mantap dengan keputusannya, apalagi setelah mengetahui analisis dokter-dokter di atas yang menyatakan kondisi psikis, fisik dan kesehatan organ-organ tubuh lain Yahya mendukung untuk pelaksanaan transplantasi. Sejak 18 Maret 2013 ia juga menjalani hemodialisis (cuci darah) seecara rutin dua kali seminggu di RS Bethesda, meskipun dengan biaya yang tidak sedikit.

Dalam rangka merayakan kehidupan,  Magdalena Kartika Sari, kakak kandung  Yahya Tirta Prewita yang tinggal di Solo, menyatakan siap mendonorkan ginjalnya. Bukan hanya Kartika, sang adik, Imanuel Teja Harjaya yang tinggal di Bandung juga rela ginjalnya diambil satu untuk sang kakak.

Berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk transpantasi ginjal? Jangan kaget, Rp 400.000.000. Ya, empat ratus juta rupiah. Inilah angka yang diperoleh Yahya dari para medis dan pengurus Yayasan RS PGI, Cikini Jakarta. Rinciannya:

1.      Persiapan, pemeriksaan fisik dan kecocokan jaringan organ donor dan resipien Rp  55 juta.
2.      Pelaksanaan transplantasi, biaya dokter, RS, dan obat Rp 300-an juta.
3.      Biaya obat pasca-transplantasi, sampai masa krisis 3 bulan Rp 30-an juta.
4.      Biaya transportasi dan akomodasi selama pasien di RS Cikini Rp 15 juta.

Punyakah Pdt Yahya Tirta uang sebanyak Rp 400 juta? Bergaji tak lebih dari gaji tukang parkir yang dijanjikan Jokowi-Basuki yang Rp 4 juta per bulan, Yahya tentu tidak memiliki uang sebanyak itu.

Untuk Anda ketahui, gaji seorang pendeta bersumber dari persembahan jemaat, bukan dari APBD, apalagi APBN. GKJ Purwantoro adalah gereja kecil. Berdasarkan informasi yang saya peroleh, ada pendeta yang bergaji tidak lebih dari Rp 1 juta, karena jemaatnya di samping sedikit, miskin pula.

Beberapa tahun silam, saya pernah membuat catatan di blog ini, ada seorang pendeta yang melayani jemaatnya harus naik turun bukit hanya menggunakan sepeda motor butut keluaran tahun 1980-an. Si motor kerap mogok di tengah jalan. Komunitas gereja kami di Tangerang lantas urunan/patungan dan berhasil membelikan sepeda motor baru buat sang pendeta.

Kembali ke soal Yahya Tirta. Kehidupan tetap harus dirayakan atau disyukuri apa pun keaadannya. Dibantu oleh saudara-saudaranya selama sakit, ditambah pertanggungan asuransi, Pdt Yahya Tirta kini sudah punya  dana sebanyak Rp 106 juta. Lalu dari mana kekurangan dana yang Rp 300-an juta?

Putus asa? Apa kata jemaat yang digembalakan jika dia putus asa? Dalam keadaan tak berdaya, Yahya Tirta Prewita tetap mempunyai dan memelihara semangat hidup dan gairah untuk melayani.

Semangat itu ditunjukkan dengan menulis jurnal pasien gagal ginjal yang dipublikasikan lewat internet, dan dia tetap melakukan pelayanan kependetaan di GKJ Purwantoro.  Kumpulan tulisan selama sakit yang pertama dibukukan dan terbit bulan Juli 2013 ini. Jika tidak ada perubahan, launching buku akan dilakukan  di Ruang Pastoral RS Bethesda  pada Agustus 2013.

Jika Tuhan izinkan, pada Sabtu 27 Juli 2013 pukl 19.00-21.00 WIB,  Yahya Tirta Prewita disponsori kawan-kawannya semasa SMA mengadakan konser tunggal. Mengundang penyanyi cantik Agnes Monica?

Tidak! Dalam konser tersebut, Yahya akan menyanyikan sendiri 25 lagu-lagu ciptaanya, dan membaca beberapa puisinya, sekaligus launchingbukunya WOW HATIKU PENUH NYANYIAN bertempat di GKJ Danusuman, Jl. Dewi Sartika 37 Surakarta.

Rupanya Yahya selain piawai menggembalakan jemaat, juga memiliki bakat seni menciptakan lagu dan bersenandung. Ia juga aktif di keorganisasian gereja. Beberapa tahun silam, ia pernah menjabat sebagai sekretaris umum Sinode Gereja Kristen Jawa yang berkedudukan di Salatiga.

Sejak sakit sampai sekarang Pdt Yahya Tirta Prewita dirawat di RS Bethesda dan tinggal di kompleks LPP Sinode Samirono Baru 71 Yogyakarta. Dengan iman disertai tindakan nyata, Pdt Yahya yakin Tuhan akan bahkan sudah menolongnya.

Sampai sedemikian jauh, ia tidak mengemis-ngemis kepada jemaatnya untuk membantu kekurangan dana yang Rp 300 juta. Adalah kawan-kawan sesama pendeta yang mengusung solidaritas, sehingga apa dan bagaimana kondisi Yahya Tirta sampai kepada komunitas gereja saya di Tangerang.

Banyak cara yang dilakukan Tuhan. Anda bisa saja tiba-tiba menjadi “malaikat”-Nya mengulurkan tangan dan hati membantu Yahya untuk sedikit-sedikit “nutup ongkos” biaya transplantasi ginjal Yahya.

Tuhan di surga sana, tentu akan tersenyum manakala Anda tergerak dan membantu Pdt Yahya dengan mengirimkan dana ke rekening  LPP Sinode:
1.      Giro BRI Tiro – Jogja a.n. LPP Sinode GKJ dan GKI Jateng Ac. 0029-01-000409-30-9.
2.      BCA KCP Gejayan a.n. Sih Hariris, S.H. Ac. 456 501 8044

Mari kita bersama merayakan kehidupan.[]
Leave A Reply

Your email address will not be published.