Efek BY dalam Persidangan Kasus Penistaan Agama

0 312

EDITING video pidato Ahok di Kepulauan Seribu dan ujaran “pancingan kebencian” yang dilakukan Buni Yani benar-benar telah berefek hingga ke ruang pengadilan kasus dugaan penistaan agama yang melibatkan Ahok.

Para saksi yang didengar kesaksiannya di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Selasa 3 Januari 2017, menjadikan “pekerjaan profesional” Buni Yani sebagai referensi utama.

Para saksi dengan begitu bangga percaya diri bahwa Ahok adalah penista agama setelah mereka menonton “bioskop” Youtube dengan “film” berdurasi kurang dari lima menit garapan “sutradara” Buni Yani.

Sang “sutradara” sendiri kini harus mempertanggungjawabkan karyanya yang menyesatkan ribuan manusia bersumbu pendek itu setelah permohonan praperadilannya ditolak pengadilan.

Kita tunggu saja bagaimana sebab akibat kasus menghebohkan yang tak masuk akal itu. Pasalnya, jika hakim menyatakan Buni Yani bersalah dan dihukum, konsekuensinya Ahok harus bebas. Sebaliknya, dunia persilatan akan semakin aneh jika Buni Yani dihukum, namun Ahok ikut dihukum.

Lebih aneh lagi jika gara-gara Buni Yani, Ahok dihukum, sementara di luar sana banyak orang yang ikut-ikutan menirukan apa yang dilakukan Ahok saat berpidato di Kepulauan Seribu, namun tak seorang pun yang mempolisikan mereka.

Keanehan seperti itulah yang membuat wartawan senior Abdullah Alamudi prihatin dengan apa yang dilakukan Buni Yani (BY), apalagi di banyak kesempatan BY mengaku pernah menjadi wartawan dan berprofesi sebagai dosen komunikasi.

Selain sebagai wartawan, Alamudi adalah dosen jurnalistik di Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS), Akademi Televisi Indonesia dan pernah menjadi ketua Komisi Pengaduan Masyarakat di Dewan Pers

Indonesia sekarang ini, menurut Alamudi, memasuki tahap yang sangat mengkhawatirkan. Pasalnya, menurut dia, dalam kasus-kasus hukum, negara seolah-olah tidak tampil di saat ia seharusnya hadir, terutama bila kasusnya melibatkan organisasi massa. Juga dalam kasus Ahok yang dituduh menista agama.

Dengan nada bertanya, Alamudi melalui tulisannya yang disebarluaskan lewat What’s App mengungkapkan, Ahok justru menjadi korban dari perbuatan tidak bertanggung jawab orang bernama Buni Yani.

Gara-gara tindakan “profesionalisme” Buni Yani, Indonesia gaduh dan Ahok menjadi korban fitnah yang sarat rekayasa.

Alamudi terpanggil memberikan pendapat soal itu, sebab Buni Yani (BY) mengaku pernah menjadi wartawan dan dosen ilmu komunikasi sebuah lembaga pendidikan jurnalistik dan public relations di Jakarta.

Alamudi menyayangkan, ada satu orang yang menggunakan “kepandaian” jurnaslistiknya untuk melakukan editing/menyunting dengan sengaja mengedit kata-kata yang diucapkan Ahok saat berpidato di Kepulauan Seribu (membuang kata “pake”) dan menambahkan kalimat tanya yang provokatif dan menimbulkan kemarahan masyarakat. BY lalu mengunggah hasil editingnya dalam transkrip di accountnya tanpa menyebut sumber video yang dia transkrip itu.

Dalam jurnalisme, perbuatan BY seperti itu disebut Alamudi sebagai plagiarisme. “Di atas segala-galanya, dia melakukan editing itu dengan niat jahat, ada ill intent, dalam istilah hukum ada mens rea (rencana jahat). Ketika dia menerbitkan editingnya dia sudah melakukan actual malice, yang dalam istilah hukum disebut actus reus perbuatan jahat. Jadi ada niat jahat, ada perbuatan jahat, maka lengkaplah tindakan melakukan kejahatan itu atau perbuatan kriminal dengan segala akibatnya yang memecah belah bangsa,” tulis Alamudi.

Jika kita mengacu kepada ilmu jurnalistik, bolehkah seorang wartawan atau redaktur (editor) menulis dan mengolah berita untuk tujuan jahat, apalagi membuat kekacauan dalam sebuah negara, apalagi negaranya sendiri?

Jelas tidak. Haram hukumnya. Wartawan Indonesia selayaknya patuh pada KUHP, UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, bahkan di koran tertentu, perangkat hukum dan etika formal itu masih dilengkapi dengan panduan kebijakan redaksi berikut sanksi jika jajaran redaksi melakukan pelanggaran.

Saya pernah menjadi wartawan dan redaktur di Media Indonesia lebih dari 20 tahun. Andai saja saya meliput peristiwa di Kepulauan Seribu saat Ahok berpidato di sana, saya akan menulis berita yang dampaknya positif buat masyarakat (bermaslahat buat umat).

Oke, pernyataan Ahok tentang ayat sebuah kitab suci yang akhirnya diributkan itu memang menarik, tapi saya akan menulis atau mengedit apa yang dikatakan Ahok itu menjadi berita seperti ini (alternatif):

1. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) minta kepada warga Kepulauan Seribu agar tidak memilihnya dalam pilkada nanti jika mereka yakin bahwa Surat Al-Maidah 51 memang mewajibkan umat Islam untuk memilih pemimpin yang seiman.

2. Basuki Tjahaja Purnama memberikan kebebasan kepada warga Kepulauan
Seribu untuk tidak memilihnya dalam pilkada nanti jika takut masuk neraka hanya gara-gara memilih pemimpin yang tidak seagama.

3. Basuki Tjahaja Purnama berjanji akan menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya sebagai gubernur hingga Oktober 2017 meskipun ia tidak terpilih lagi menjadi gubernur.

Di Kepulauan Seribu, Ahok seperti yang dicatat Alamudi, juga berbicara mengenai program perbaikan ekonomi nelayan dengan pembagian keuntungan 80:20 persen, 10 persen akan dikembalikan ke koperasi untuk pembangunan prasarana.

Sebagaimana terekam dalam video, Ahok juga berbicara soal pentingnya kerja keras dan melanjutkan program menaikkan haji atau mengumrahkan penjaga masjid.

Tetapi, karena di dalam kepala BY sudah ada rencana jahat, ada ill intent, maka Buni Yani, begitu kesimpulan Alamudi, “dengan pengetahuannya sebagai wartawan, dia mengedit kalimat Ahok sedemikian rupa sehingga kalimat yang telah diedit itu menghasilkan makna berbeda atau bertentangan dengan kalimat aslinya.”

Selain pernah menjadi wartawan, saya sampai sekarang juga masih mengajar mata kuliah editing dan produksi isi media di sebuah kampus di Jakarta Selatan. Kepada mahasiswa, pastinya saya tidak pernah mengajarkan “ilmu editing” ala BY yang membuat rusak persaudaraan sesama anak bangsa.

Apa yang saya ajarkan kepada mahasiswa sama persis dengan apa yang diajarkan Alamudi bahwa fungsi editing adalah untuk menjamin akurasi (kecermatan) berita; membuang kata-kata yang tidak penting (hemat kata/ekonomi); memperbaiki/menghaluskan bahasa; membuang pernyataan/kata-kata yang bersifat menghina; dan menjamin bahwa berita yang telah diedit mudah dipahami (readable) dan lengkap.

Tapi, BY dengan sengaja menlanggar prinsip/fungsi editing karena di kepalanya telah tertanam sedemikian kuat bahwa Ahok harus jatuh. Ia dengan secara sadar dan sengaja membuang kata “pakai” dari kalimat asli Ahok, yang berbunyi: “Jangan percaya sama orang … dibohongin pakai surat al-Maidah 51.”

Jika BY membaca tulisan Alamudi dan catatan saya di atas, saya hampir pastikan (melihat karakternya selama ini), BY akan berkata seperti ini: “Lho, itu hak saya dong untuk beropini. Status saya di Facebook, kan bukan produk jurnalistik. Jangan samakan opini dan tayangan video di Youtube dengan berita di koran dan televisi.”

Dalam situasi di mana fitnah dan kedengkian seperti sekarang sedang marajelela dan merasuki orang-orang bodoh, petuah yang diwujudkan melalui tulisan-tulisan positif pasti akan dianggap sebagai angin lalu.

Kita tunggu seperti apa hasil akhir persidangan kasus penistaan agama yang bahan bakunya dari jauh sudah tercium beraroma busuk. Saya tidak tahu apakah jaksa penuntut umum masih akan menghadirkan saksi bioskop Youtube yang bereforia ketika menyaksikan tayangan editan karya Buni Yani.

Sambil menunggu sidang berikutnya, pagi ini rasanya nikmat sekali sarapan pakai Fitsa Hats.[]

Leave A Reply

Your email address will not be published.