Tiada Hari Tanpa Kata “Kafir” dan “Revolusi”
Foto: Istimewa |
BELAKANGAN kata-kata, seperti “kafir” dan “revolusi” hampir setiap hari terdengar setelah dua kata itu disosialisasikan tokoh intoleran (radikal) sebuah ormas yang mengklaim berjuang untuk membela agama.
Kata-kata itu tersosialisi begitu sistemik, sehingga ketika seseorang — apalagi jika ia public figure — menyebut kata “revolusi” misalnya seolah merasa dirinya telah berubah dari pecundang menjadi seorang pahlawan (pejuang).
Mengucapkan kata “revolusi”, sang “tokoh” merasa sosoknya mirip dengan Bung Karno ketika bertekad melakukan revolusi mengusir Belanda dan berteriak “merdeka ataoe mati” lebih dari 70 tahun silam.
Jika Bung Karno melakukan revolusi dan memekikkan “merdeka atau mati” berhadapan dengan Belanda, ironisnya, itu para “tokoh” zaman kini yang memekikkan “revolusi” berhadapan dengan bangsa sendiri.
Maka saya bisa pahami jika Viktor Laiskodat, politikus sebuah partai politik, agak dongkol ketika ada sementara orang yang dengan begitu mudah berteriak “kafir” dan “revolusi” di saat negeri ini sedang membangun. “Negeri kita itu hanya mengenal pekik merdeka atau mati, bukan kofar kafir,” katanya.
Tagline “revolusi” pekan lalu juga dikumandangkan sejumlah “tokoh” saat mereka menjadi pembicara dalam sebuah diskusi yang digelar di gedung perjuangan di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
Dalam dikusi itu, ada anak mantan presiden, tentara, profesor, “politikus” dan bekas wartawan. Tema diskusinya sih mentereng soal kebangsaan, tapi ujung-ujungnya “yuk kita revolusi”.
Seorang mantan jenderal yang jadi salah seorang pembicara menyebut UUD 1945 yang diamandemen sebagai biang kerok negeri ini kacau (katanya).
Untuk diketahui UUD 1945 diamandemen ketika Amien Rais menjadi ketua MPR. Sebelumnya Amien pernah menggagas perlunya Indonesia dijadikan negara federal.
Jenderal ini menyarankan saatnya kita kembali kepada UUD 45 asli. Selama Indonesia belum kembali kepada UUD 45 asli, menurut dia, maka sampai kapan pun negara ini akan terus menyimpang dari cita-cita kemerdekaan.
Solusinya? Jenderal ini bilang TNI harus bangkit berjuang menumpas penyimpangan mendasar tersebut.
Seorang pengamat di acara itu menyimpulkan saat ini Indonesia sedang mengalami kemunduran yang sangat cepat. Bangsa ini, katanya, juga tidak bisa melihat dan merasakan bahaya yang sedang mengancam.
Ancaman yang dimaksud sama persis dengan yang kerap diorasikan pemimpin ormas anarkis, yaitu bangkitnya PKI. Sayangnya, menurut pengamat ini, tanda-tanda kebangkitan PKI tidak dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan.
Ehmm, pekerja ilegal dari China, masih menurut laki-laki ini, juga tidak dianggap bahaya, pun demikian dengan pelecehan agama.
Sang nara sumber pun dengan lantang menyebut bahwa kekuatan bangsa kita bukan terletak pada penguasa, tetapi pada umat agama mayoritas, kaum nasionalis dan TNI
Seorang profesor yang juga diajak untuk berbicara di forum itu menyebut Indonesia saat ini sedang defisit kedaulatan. Konkretnya, kedaulatan RI terancam.
Oh, ya terancam? Ya. Menurut sang profesor, inilah tanda-tandanya: reklamasi dan ancaman komunis.
Seorang nara sumber lain lagi-lagi mempersoalkan amandemen UUD 45. Dia mengatakan UUD 45 yang diamandemen sesungguhnya merupakan penipuan kepada bangsa Indonesia. Semoga Amien Rais yang menggagas amandemen UUD 1945 tidak tersinggung.
Nah, ini yang seru. Mantan politikus yang dulu pernah dikenal sebagai peramal memberikan solusi jitu (?) agar Indonesia terbebas dari masalah. Dia mengatakan, satu-satunya jalan adalah revolusi. Pasalnya, menurut dia, hukum sudah terbeli. Saya jadi penasaran, hukum di negeri ini berapa ya harganya?
Laki-laki yang kerap berpakaian serba hitam ini menyebut revolusi bukan makar. Saat itu dia bahkan menantang intel yang hadir mengawasi acara agar mencatat apa yang dikatakannya.
Lelaki itu lantas mengaitkan dengan Bung Karno yang adalah pemimpin revolusi. Oleh sebab itu, kesimpulan sang mantan politikus, “revolusi bukan makar. Yang mengatakan revolusi adalah makar tidak tahu sejarah.”
Menurut dia, yang makar adalah mereka yang mengubah UUD 1945. Lagi-lagi, semoga Amien Rais, sang promotor, tidak tersinggung.
Ada pula profesor lain yang menyimpulkan bahwa sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa” tidak lagi dihargai. Buktinya? Ia menyebut penista agama dibela, sementara pembela agama (maksudnya mungkin Rizieq) dikriminalisasi.
Saat ini, kata sang profesor, “kita butuh persatuan umat.” Entah siapa yang dimaksud dengan umat. Dia menyimpulkan media sekarang membangun kesan bahwa agama mayoritas adalah agama yang membahayakan. Yang mampu mengawal Indonesia untuk menyelesaikan semua persoalan Indonesia, masih menurut sang profesor, adalah umat agama mayoritas bersama TNI.
Sementara itu “tokoh” kita yang satu ini (dia bekas wartawan) terang-terangan menyebut bahwa komitmen revolusi sudah menguat. Indikatornya, sang jenderal yang mewakili TNI dan Rizieq yang mewakili umat sudah mencanangkan revolusi. Oh, ya?
Poros Jakarta-Peking dan poros Jakarta-Washington, disebutnya, berusaha merebut kedaulatan NKRI.
Pertanyaannya, revolusi yang disebut-sebut itu, wujudnya seperti apa? Menumbangkan pemerintahan yang sah?
Jika itu yang dimaksud, tak sabarkah menunggu 2019? Atau takut kalah lagi?[]