MENYAMBUT Natal, lebih dari 30 tahun yang lalu, saya pernah menulis artikel ini dengan judul yang sama, “Logika Kelahiran Kristus.”
Saat artikel itu dipublikasikan di koran Angkatan Bersenjata, usia saya masih 22 tahun, dan belum selesai kuliah, namun sudah nyambi sebagai wartawan.
Di saat usia saya tidak muda lagi, saya coba menulis lagi soal logika kelahiran Yesus Kristus di saat koran yang pertama kali memuat buah pikiran saya itu sudah tiada.
Saya tentu berharap lewat media online yang tidak lagi dibatasi oleh tiras, jarak dan waktu seperti halnya media cetak, pengalaman iman saya ini bisa tersebar tanpa batas dan bisa masuk ke grup-grup What’s App (WA).
Setelah membaca judul tulisan ini, “Logika Kelahiran Kristus”, boleh jadi ada pembaca yang tidak setuju dan keberatan karena memiliki argumen bahwa iman tidak bisa dilogikakan. Iman adalah sebuah misteri dan tidak bisa dinalarkan.
Izinkan saya berkata siapa bilang? Mari simak Amsal 19:8 yang tertulis seperti ini: “Siapa memperoleh akal budi, mengasihi dirinya; siapa berpegang pada pengertian, mendapat kebahagiaan.”
Yes, dengan akal dan budi serta berpegang pada pengertian, saya mendapatkan kebahagiaan karena akal saya menemukan cara bagaimana beriman kepada Kristus.
Sebelumnya di dalam Amsal 16:22 ada tertulis: “Akal budi adalah sumber kehidupan bagi yang mempunyainya, tetapi siksaan bagi orang bodoh ialah kebodohannya.”
Maaf, saya tidak mau jadi orang bodoh dalam beriman. Oleh sebab itulah saya tulis ulang apa yang telah saya tulis puluhan tahun lalu, “Logika Kelahiran Kristus”.
Benar, Roh Kudus adalah “warisan” Allah yang selalu membimbing umat-Nya untuk beriman kepada Tuhan yang sosoknya ada dalam Yesus.
Namun, sayang (mudah-mudahan sih dugaan saya keliru), ketika orang Kristen dihadapkan pada pertanyaan, “benarkah Yesus adalah Tuhan”, mereka tidak mampu menjawabnya dan hanya bisa memberikan jawaban klise: “Roh Kudus yang membimbing saya untuk percaya bahwa Yesus adalah Tuhan”.
Titik. Hanya itu jawaban yang bisa diucapkan. Tanpa argumen. Roh Kudus dijadikan tameng iman orang Kristen yang berprinsip “pokoknya” (pokoke-Jawa).
Lewat tulisan ini, mari saya ajak Anda untuk bernalar dalam beriman mengapa Yesus Kristus lahir ke dunia dan membaur dengan manusia yang oleh Allah terlanjur diciptakan sebagai makhluk yang paling brilian. Paling luar biasa.
Mengapa saya sebut paling luar biasa dan brilian? Yuk kita simak Kejadian 1:27 yang terfirman seperti ini: “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia laki-laki dan perempuan; diciptakan-Nya mereka.”
Gila! Ayat itu membuktikan bahwa kita (manusia) identik atau sezat dengan Allah. Itu berarti kita juga punya “kecerdasan” yang sama dengan Allah.
Allah memberikan atau melengkapi kita dengan otak. Meskipun Allah juga memberikan otak kepada hewan, otak yang ada di kepala kita tentu berbeda, sebab Tuhan melengkapi kita dengan “budi” yang berfungsi untuk memilah dan memilih mana yang baik dan buruk, mana yang salah dan benar.
Setelah Allah menciptakan manusia, dalam perjalanan berikutnya, saya menduga Allah kecewa, sebab manusia dengan kepintarannya, semakin tidak tahu diri (nglunjak). Sudah diberi hati minta jantung.
Merasa pintar dan berakal, manusia mula-mula di zaman dulu ingin tahu keberadaan Tuhan. Mereka bertanya, “Tuhan kalau Engkau ada tunjukkan dong sosok-Mu?”
Di kitab Perjanjian Lama tertulis begitu banyak tokoh dalam Alkitab yang menyangsikan keberadaan Tuhan meskipun Tuhan sudah berkali-kali menunjukkan kekuasaan-Nya lewat banyak mujizat.
Nabi Musa yang lewat tongkatnya mampu membelah Laut Merah adalah salah satu di antaranya untuk membuktikan bahwa Tuhan itu ada dan hadir bersama manusia.
Tapi dasar manusia tidak tahu diri. Mereka dengan kesempurnaannya tetap penasaran dan bertanya-tanya di manakah Kau Tuhan? Sampai-sampai mereka membangun menara Babel setinggi langit untuk mencari tahu Tuhan berada di mana?
Akal dan budi saya menuntun iman saya. Saya menduga Tuhan kesal (maaf kalau saya menggunakan istilah ini) karena telah menciptakan manusia segambar dengan-Nya, sampai-sampai ada yang sombong dan kemudian tidak percaya kepada Allah. Anda tentu ingat bagaimana Nabi Nuh dibully masyarakat pada zamannya hanya lantaran Nuh percaya kepada Allah?
Allah konsisten dengan ciptaan-Nya, yaitu manusia yang sangat disayangi. Allah tidak ingin manusia terperosok ke jurang yang lebih dalam dan jatuh dalam dosa yang semakin akut. Allah juga tidak menginginkan umat-Nya semakin kurang ajar.
Allah memenuhi keinginan manusia yang penasaran dengan sosok-Nya. Allah ingin membuktikan bahwa manusia diciptakan segambar dengan-Nya.
Persoalannya dengan cara apa Allah membuktikannya? Ia lalu memakai Maria dan tunangannya, Yusuf. Gila! Allah “memperalat” Maria untuk membuktikan bahwa “Aku ada”.
Ia rela menjelma menjadi manusia lewat bayi Yesus yang lewat Roh Kudus dan kuasa-Nya langsung menyusup lewat rahim Maria yang waktu itu masih perawan tingting.
Yusuf, tunangannya tentu kelimpungan. Saya tidak bisa membayangkan jika apa yang menimpa Maria terjadi di zaman now, di Indonesia pula, dunia infotaimen yang sehari-hari “menghiasi” layar kaca dan ditonton emak-emak pasti akan heboh.
Emak-emak pasti ngerumpi: “Maria hamil tapi nggak ngaku siapa yang menghamili.” Setelah itu akan diikuti dengan tayangan Yusuf melakukan konferensi pers dan berkata: “Saya telah dikhianati dan dengan ini saya membatalkan menikahi Maria.”
Namun, perjalanan sejarah kelahiran Yesus yang telah diskenariokan Allah berjalan mulus. Semua agama mengakui Maria mengandung bayi Yesus bukan karena sperma seorang laki-laki bernama Yusuf.
Ajaib! Ya, itulah kuasa Allah. Apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi. Kelahiran Yesus dan sosok Yesus sekaligus media atau momentum bagi Allah untuk memutihkan dosa manusia. Kurang apa lagi?
Yang juga tak kalah penting menyangkut sejarah keimanan manusia sejagad ini dengan Allah adalah bahwa Dia telah membuktikan bahwa sosok-Nya ada.
Kalau selama ini manusia hanya membayang-bayangkan dan diakui atau tidak — bahkan malah sering bertanya-tanya (mungkin juga ragu) — benarkah Allah ada, lewat kelahiran Yesus, Tuhan membuktikan dan berkata kepada kita: “Inilah Aku. Kamu masih nggak percaya Aku menjelma menjadi manusia sama seperti kamu?”
Itulah akal saya dalam beriman kepada Tuhan yang sosok-Nya saya kenal dan imani dalam Yesus, sehingga saya berani menulis judul tulisan ini “Logika Kelahiran Yesus”.
Aneh? Menurut saya kok tidak. Selamat Natal 2018 dan menyongsong Tahun Baru 2019. Damai di hati, damai di bumi.[]