‘Kawin Paksa’ Ala Partai Politik
KECUALI PDI Perjuangan dan Partai NasDem, partai-partai lain sampai hari ini (Rabu 23 April) masih “bingung” harus berkoalisi dengan siapa. Melakukan “pernikahan” politik ternyata tidak mudah, apalagi kalau masing-masing calon pasangan jual mahal dan minta “mahar” tak kepalang tanggung yang mau tidak mau harus dipikir ulang oleh si pelamar. Salah pilih “teman seperjuangan” malah bisa berakibat fatal.
Setidaknya persoalan seperti itulah yang melatarbelakangi Media Indonesia mengadakan diskusi publik bertajuk “Kawin Paksa Menghancurkan Bangsa” yang diselenggarakan di Pisa Café di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (22 April) lalu.
Berbicara dalam diskusi itu, pengamat politik dari LPI Prof Indria Samego, Sekjen Partai NasDem Patrice Rio Capella, Ketua DPP PDIP Maruarar Sirait dan Direktur Eksekutif Cyrus Network Hasan Nasbi.
Sampai catatan ini saya buat, ibarat pernikahan, PDIP-lah yang melakukan pernikahan monogami, yaitu hanya dengan NasDem. Rio Capella mengibaratkan pernikahannya dengan PDIP didasarkan atas suka sama suka, bukan terpaksa atau kawin paksa.
Sedari awal, masyarakat bisa memahami bahwa PDIP dan NasDem punya “ideologi” yang sama, yaitu menomorsatukan Pancasila sebagai landasan untuk membangun dan memajukan bangsa. Konsekuensinya, kedua partai ini harus menjunjung tinggi semangat pluralisme yang terang benderang, bukan pluralisme yang pura-pura.
Semangat seperti ini pulalah yang dipegang sangat erat oleh PDIP yang sampai sekarang masih belum menemukan calon pasangan yang pas buat Joko Widodo (Jokowi) untuk dicalonkan sebagai wakil presiden (wapres). Belakangan beredar tiga nama calon wapres yang disebut-sebut akan disandingkan dengan Jokowi, yaitu Jusuf Kalla, Mahfud MD, dan Riyamizard Ryacudu.
Namun dari pernyataan yang disampaikan Maruarar Sirait dalam diskusi yang dipandu Kepala Divisi Pemberitaan Media Indonesia Abdul Kohar, ketiga tokoh itu juga belum final bakal “dikawinkan” dengan Jokowi. “Kami masih menimbang-nimbang dengan melihat track record mereka,” katanya.
Maruarar beralasan, partainya tak mau terjebak dengan opini yang sengaja dikembangkan atau dipoles oleh pihak-pihak tertentu – juga pers – sehingga muncul kesan tokoh-tokoh tadi sangat bersih dan tanpa cacat, padahal Jokowi membutuhkan pasangan yang bisa menutup kekurangannya.
Dalam soal nasionalisme, kebangsaan dan pluralisme, menurut Maruarar dan dibenarkan Rio Capella, PDIP dan NasDem sudah punya pemahaman yang sama, juga para tokohnya. Lagi-lagi, masih menurut Maruarar, PDIP tak mau terkecoh dengan para tokoh dari partai-partai lain yang tampil di depan publik (terutama melalui pemberitakan pers) seolah-olah sangat pluralis, padahal faktanya tidak seperti itu.
Dihadapkan pada kenyataan-kenyataan seperti itulah, maka melakukan koalisi tak semudah membalikkan telapak tangan, apalagi jika partai-partai yang akan berkoalisi tidak seasas. Belum lagi ditambah dengan persoalan yang harus dihadapi di intern partai seperti yang dialami Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Maksud hati Surya Dharma Ali, ketua umum PPP adalah agar partai yang dipimpinnya dipinang Partai Gerindra, tapi fakta yang muncul, dia malah dirongrong oleh orang-orang dekatnya.
Koalisi tak ubahnya benar-benar seperti kawin paksa jika demi 25% suara (agar sebuah partai bisa mengajukan capres), partai yang butuh koalisi akhirnya melayani politik dagang sapi dan politik transaksional partai papan tengah, dan dengan mudahnya partai “papan atas” memberikan kompensasi akan bagi-bagi kursi di pemerintahan kelak jika tokoh yang dicapreskan menjadi presiden. Sungguh teramat bodoh para elite politik jika mereka tak mau menimba pengalaman buruk koalisi yang dibangun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Kita layak memberikan apresiasi kepada Partai NasDem yang (semoga selamanya) tak mengharapkan kompensasi apa-apa saat memutuskan untuk bergabung dengan PDIP.
Sampai sedemikian jauh, partai besutan Surya Paloh ini tidak mengajukan nama cawapres untuk mendampingi Jokowi, padahal kalau mau – dan pasti disetujui PDIP – bisa saja NasDem mengajukan Surya Paloh sebagai cawapres.
Partai ini rupanya tahu diri, suara yang diperoleh dalam Pemilu 2014 cuma 6,9% tak pantas menuntut macam-macam kecuali memberikan dukungan kepada Jokowi yang memang pantas diusung PDIP untuk menjadi presiden. Berbeda dengan partai-partai lain, NasDem juga tidak pernah mengusung nama capres sebelum hasil pemilu legislatif diumumkan. Partai ini baru akan mengajukan nama capres jika masuk tiga besar.
Karena itu bisa dipahami jika pengamat politik Sukardi Rinakit dalam tulisannya di Kompas (23/4) menulis: “Hormat saya kepada Surya Paloh yang cita-citanya lebih besar dari dirinya sendiri. Dengan tidak menegosiasikan dirinya sebagai calon wakil presiden Joko Widodo, ia telah membunuh libido kekuasaannya. Sekecil apa pun keputusan tersebut, itu merupakan bagian dari kebajikan (virtue) politik.”
Ada sementara pihak yang meragukan niat NasDem dengan mengatakan partai ini akan meninggalkan PDIP jika ada situasi lain yang menguntungkan NasDem. Benarkah? Menanggapi isu ini, Rio Capella menegaskan: “Partai NasDem bukan tipe penghianat. Jika sudah memutuskan untuk mendukung, maka kami akan mendukung sepenuhnya. NasDem bukan tipe partai yang suka main-main.’’
“Perkawinan” antara NasDem dan PDIP dilukiskan Rio sebagai perkawinan atas dasar suka sama suka. Koalisi yang dibangun NasDem dengan PDIP adalah koalisi ikhlas. Koalisi itu tidak didasarkan pada pembagian jatah kekuasaan seperti yang selama ini terjadi.
“Perkawinan” antara NasDem dan PDIP juga tidak pernah sembunyi-sembunyi, berpura-pura, di bawah tangan atau kawin siri. Mudah-mudahan ke depan bangsa ini bisa membangun sebuah kultur politik yang baru, yakni koalisi tanpa transaksional utnuk memperkuat sistem presidensial. Partai NasDem dan PDIP harus mampu membuktikannya, sehingga jangan sampai “bercerai” sebelum keduanya merasakan nikmatnya berbulan madu.[]