KOMPAS 7,2 M, MEDIA INDONESIA 3,1 M
Harian Kompas pada hari itu terbit 52 halaman, sementara Media Indonesia 40 halaman. Saya sengaja meminta mahasiswa Universitas Esa Unggul yang belajar manajemen media massa cetak (MMMC) untuk menghitung pendapatakan iklan kedua surat kabar itu agar mereka dapat mengetahui bagaimana manajemen media massa, khususnya media cetak berusaha untuk tetap eksis di tengah semakin maraknya media digital.
Banyak “pengamat” yang memerkirakan media massa cetak, khususnya surat kabar hanya akan bertahan 7-10 tahun lagi. Dugaan ini dilatarbelakangi banyaknya surat kabar di Amerika dan Eropa yang gulung tikar. Kelak, kata mereka, cepat atau lambat kematian itu juga akan menghampiri perusahaan surat kabar di Asia, tidak terkecuali di Indonesia.
Saya sendiri tidak mampu meramalkan apakah kematian itu benar-benar bakal datang. Berdasarkan “sejarah”, kematian surat kabar di Indonesia lebih banyak disebabkan adanya konflik di dalam manajemen perusahaan. Karena konflik di dalam, manajemen redaksi terganggu, juga manajemen usaha dan ujung-ujungnya koran tidak laku dan tidak ada pemasang iklan yang tertarik untuk memasang iklan di surat kabar yang sedang dilanda konflik tersebut.
Koran Kompas dan Media Indonesia sering disebut sebagai surat kabar nasional; artinya koran yang terbit di Jakarta dan beredar di wilayah nusantara lainnya.
Tidak ada manajemen surat kabar yang mampu bertahan hidup tanpa iklan. Nonsens sebuah usaha pers bertahan hidup hanya mengandalkan tiras. Semakin banyak tiras (oplah) tanpa dukungan iklan sama saja bunuh diri.
Agar pemasang iklan melirik halaman surat kabar, manajemen pers harus putar otak, antara lain menciptakan rubrik-rubrik khusus tetapi tetap bernilai jurnalistik (kepuasan pembaca tetap dinomorsatukan). Bidang redaksi dan usaha harus saling bersinergi. Dalam ilmu manajemen media massa, ibarat mata uang, kedudukan bidang redaksi dan bidang usaha sama-sama penting, sama-sama bernilai.
Maklum, selama ini ada anggapan, orang yang bekerja di bidang redaksi (wartawan) lebih hebat dan penting daripada orang yang bekerja di bidang usaha (iklan, sirkulasi, distribusi dan sebagainya).
Grup Kompas pun merasa perlu memiliki divisi yang disebut Corporate Advertising (CA). Dalam situs kompasgramedia.com disebutkan, CA adalah unit yang bertanggung jawab untuk pengembangan pasar iklan, dan pengembangan produk/paket iklan dengan membuat paket dari proposal iklan terpadu (Integrated Marketing Communication) guna mengoptimalkan semua saluran yang dimiliki grup Kompas Gramedia.
Yang dilakukan CA termasuk memberikan layanan purnajual yang terbaik, khususnya bagi top 12 agensi yang memiliki billing iklan terbesar di grup Kompas Gramedia. Ini semua dilakukan melalui sinergi dengan semua jaringan yang dimiliki grup Kompas Gramedia. Tentu saja tujuan akhirnya jelas, yaitu meningkatkan revenue bagi grup Kompas Gramedia.
Mengapa CA diperlukan? Situs tersebut mengungkapkan antara lain karena bisnis media bergerak ke arah sinergi. Di antara grup media yang ada Indonesia, grup Kompas Gramedia memiliki keragamanan dan jaringan yang bisa disamakan dengan News Corporation di luar negeri.
Saat ini grup Kompas Gramedia memiliki media yang terdiri dari surat kabar nasional (2), surat kabar jaringan pers daerah (16), majalah dan tabloid (46), radio (Jaringan Sonora di 9 kota dan Motion Radio), online (Kompas.com & versi online dari beberapa media cetak), toko buku (96 toko buku Gramedia di 25 kota), percetakan( 10 percetakan di seluruh Indonesia), hotel (17 jaringan hotel Santika & Amaris), pabrik tissue Tessa(GKU) dan event organizer (Dyandra & Radyatama).
Kondisi eksternal saat ini mengharuskan grup Kompas Gramedia membuat strategi yang cukup cerdas untuk mengantisipasi kondisi pasar.
Salah satu strategi yang dipakai grup Kompas untuk memenangkan persaingan dalam jangka panjang adalah tuntutan bagi unit iklan bukan hanya menciptakan paket iklan yang kreatif, tetapi juga mengoptimalkan penggunaan bauran media (media mix).
Jadi bukan hal mustahil jika nantinya paket-paket iklan ada yang melibatkan toko buku Gramedia, Hotel Santika atau bahkan Graha Kerindo Utama dengan Tisue Tessanya. Corporate advertising juga bertanggung jawab untuk menciptakan pasar yang baru bukan hanya menempel pada pasar yang sudah ada sebelumnya.
Selain itu, Corporate Advertising harus mampu menerjemahkan kebutuhan pengiklan untuk melakukan aktivitas promosi bukan hanya di media konvensional, seperti di media cetak (Kompas salah satunya), tetapi juga melakukan aktivasi merek (brand activation) bagi pengiklan.
Dengan strategi seperti itu, kue iklan nasional selama ini memang banyak dimakan Kompas. Tidak heran jika mahasiswa menemukan angka Rp 7,2 miliar untuk Kompas.
Sampai sebegitu jauh mahasiswa yang saya dampingi belajar MMMC belum mengetahui, apakah angka Rp 7,2 miliar merupakan pendapatan riil Kompas pada hari itu, sebab lazimnya manajemen surat kabar memberikan diskon yang angkanya bervariasi untuk para biro iklan. Angka Rp 7,2 miliar itu belum dipotong pajak.
Yang pasti pada hari itu, berita-berita dan produk jurnalistik yang diolah tim redaksi Kompas sangat bervariasi; setiap hari Jumat, harian itu menampilkan rubrik tetap (MUDA) yang ditujukan untuk anak-anak remaja setingkat SMA. Berita-berita daerahnya, menurut mahasiswa, juga lumayan lengkap. Beralasan jika banyak iklan di surat kabar itu.
Akan halnya Media Indonesia yang penghasilan iklannya pada hari itu Rp 3,1 miliar. Koran yang satu grup dengan Metro TV ini pada hari itu punya rubrik baru, KATALOG BELANJA. Rubrik baru ini terbit 12 halaman setiap hari Jumat.
Berdasarkan survei pembaca, selama ini pembaca Media Indonesia adalah laki-laki (lebih dari 50%). Manajamen Media Indonesia rupanya berusaha menarik pembaca perempuan, dan dibentuklah suplemen khusus KATALOG BELANJA.
Tidak sia-sia, rubrik baru itu berhasil menyantap kue iklan. Lebih dari separuh dari 12 halaman KATALOG BELANJA berisi iklan dengan ukuran satu halaman. Rasanya tidak keliru kalau menurut hitungan mahasiswa, penghasilan iklan Media Indonesia pada hari itu mencapai Rp 3,1 miliar.
Benar atau salah? Hanya manajemen Kompas dan Media Indonesia yang tahu.***