SBY, Pontius Pilatus dan Su’ul Khatimah

0 279
SUSILO Bambang Yudhoyono bakal mengakhiri kekuasaannya sebagai presiden ibarat “panas setahun dihapus hujan sehari.” Apa yang diucapkan, dengan dalih apa pun, tampaknya bakal tidak ada lagi orang yang percaya, kecuali kroni-kroninya. Benar kata orang, 10 tahun menjadi presiden, ia hanya membangun pencitraan. Tak sedikit pun ia berniat menjadi seorang negarawan.

Sayang, 10 tahun berkuasa, kurun waktu itu hanya dihabiskan SBY untuk membangun citra. Puncaknya adalah ketika “pasukannya” di DPR (anggota Fraksi Demokrat) melakukan aksi walk out saat pengambilan keputusan atas Rancangan Undang Undang (RUU) Pemilu Kepala Daerah dalam Sidang Paripurna DPR, Jumat (26) dinihari.

Dengan aksi tersebut, para anggota yang menghendaki pemilu kepala daerah (pilkada) secara langsung oleh rakyat, otomatis berkurang, dan tentu saja kalah suara saat voting (pemungutan suara). Maka marwah demokrasi ke depan, khususnya dalam proses pemilihan kepala daerah pun bakal dimainkan para anggota DPRD. Di daerah, kelak bakal ada “raja-raja” kecil yang berpasukan prajurit (anggota DPR) yang memilih “sang raja” (gubernur, bupati dan walikota).

Impian seperti inilah yang sengaja dibangun Koalisi Merah Putih menyusul kekalahannya dalam pemilihan presiden (pilpres) tempo hari. RUU Pemilu Kada dan UU MD3 (Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, DPD dan DPRD), ibarat perang, dijadikan peluru atau meriam untuk melakukan politik “balas dendam” guna melumpuhkan pemerintahan pusat yang nanti akan dipimpin Joko Widodo (Jokowi). “Silakan saja kamu jadi presiden, tapi kami punya komandan pasukan di daerah yang belum tentu bisa kamu tundukkan,” begitulah kira-kira suara “kemenangan” Koalisi Merah Putih.

Aksi “sandiwara” sedemikian piawai yang dimainkan para anggota DPR dari Fraksi Demokrat dalam sidang pleno DPR sejak Kamis (25/9) hingga Jumat (26/9) dini hari itu sekali lagi membuktikan sesungguhnya bahwa SBY dan pasukannya lebih pro ke Koalisi Merah Putih ketimbang ke kubu pemenang pilpres. Buat SBY lebih baik menjadi “Pontius Pilatus” (seolah-olah pro-rakyat) daripada merapat dan berdamai dengan kubu Jokowi-Jusuf Kalla.

Banyak sebab mengapa SBY melakukan aksi “balas dendam” kepada tim yang akan menggantikan pemerintahannya. Beberapa di antaranya adalah saat ia mengajukan RAPBN 2015 ke DPR yang membuat “mati kutu” pemerintahan Jokowi lantaran tak ada program pengurangan subsidi BBM. Tak ingin mendapatkan “warisan” busuk, tim Jokowi menyarankan agar pemerintahan SBY menaikkan harga BBM agar dana subsidi bisa dialihkan ke hal-hal yang lebih produktif.

Saran itu dianggap sebagai intervensi. Berdalih bahwa pemerintahannya sudah pernah menaikkan harga BBM dan agar tidak membebani rakyat, pemerintahan SBY menyatakan tidak akan menaikkan harga BBM menjelang masa pemerintahannya akan berakhir. “Rasain deh loe,” itulah suara “kemenangan” Koalisi Merah Putih.

Ketersinggungan SBY lainnya adalah manakala ia telah menyiapkan anggaran untuk membeli mobil dinas baru (Mercedes) buat para menteri, tapi Jokowi tidak berkenan dan para menterinya akan memakai mobil lama yang masih layak pakai. SBY lalu mengumumkan ke publik bahwa ia telah membatalkan rencana pembelian mobil tersebut. Banyak yang bertanya-tanya, haruskah “urusan dapur” kabinet ini diungkap ke publik?

Siang ini (Jumat 26/9) beredar kabar, walk out pasukan Demokrat di DPR juga sebagai aksi balasan, karena Fraksi PDIP beberapa kali pernah melakukan walk out (keluar dari ruang sidang). “Memangnya enak kena aksi walk out?” begitulah kira-kira suara kemenangan Partai Demokrat.

Oleh sebab itu, banyak pihak yang menduga pernyataan SBY beberapa hari lalu bahwa Partai Demokrat akan mendukung pemilu kepala daerah secara langsung hanya “lips service” alias pura-pura. Bahwa pasca-voting ada rasa penyesalan dari kubu Demokrat seolah-olah ada aktor Demokrat di DPR yang berkhianat dengan melakukan aksi walk out, orang tidak lagi percaya, sebab penyesalan semu itu bagian dari episode politik balas dendam SBY. Jika pun kemudian SBY menjelaskan duduk perkaranya, lagi-lagi rakyat sudah tidak percaya. Sayang.

Kalau pun SBY berdalih bahwa sesungguhnya ia dan partainya mendukung pemilu kada secara langsung demi rakyat dan kemudian menyusun skenario melakukan aksi bubar di DPR, maka benar pertanyaan banyak orang, sesungguhnya apa bedanya SBY dengan Pontius Pilatus?

Pontius Pilatus adalah pemimpin Romawi saat Yesus Kristus digeruduk para ahli agama yang menuding Yesus menyebarkan ajaran sesat. Pontius Pilatus mengetahui bahwa Yesus tidak bersalah. Ia lalu meminta pendapat sekelompok massa, haruskah Yesus dihukum (disalib)? Begitu kumpulan orang itu menjawab salibkan Yesus, Pontius Pilatus pun menyerahkan nasib Yesus kepada “pengadilan jalanan.” Pontius Pilatus cuci tangan.

Dalam kasus pembahasan RUU Pemilu Kada, SBY rupanya juga ingin cuci tangan. Sayang memang rakyat sudah terlanjur “mencium” aksi cari selamat SBY yang masa kekuasaannya tinggal menghitung hari, sehingga ia akan mengakhiri pemerintahannnya secara “su’ul khatimah” (akhir yang buruk).

Tapi, apa pun suara minor yang digelorakan banyak orang, saya tetap salut kepada SBY, sebab dia begitu tabah dan tegar serta konsisten menjalankan politik pencitraan. Tak apalah panas setahun dihapus hujan sehari.[]

  
Leave A Reply

Your email address will not be published.