Kasus Artis AA dan Aksi Merasa Tidak Berdosa

0 341
TERBONGKARNYA kasus prostitusi online yang melibatkan artis – satu di antaranya AA –, mendadak sontak membuat banyak orang (termasuk saya) yang merasa dirinya paling suci dan bermoral.

Keterlibatan AA menjadi bahan canda di media sosial. Para ibu rumah tangga dan juga bapak rumah tangga kontan mengelus dada dan berujar: “Oh, begitu to kehidupan para artis, sungguh sangat memprihatinkan, kehidupan seks bebas kok diumbar.”

Saat berkata demikian, mungkin banyak di antara mereka yang tidak sadar (semoga saya salah dan maaf), yang juga telah melakukan seks bebas dan “mencoba” sebelum melakukan ijab kabul atau pernikahannya diberkati di gereja. 

Atau jangan-jangan banyak di antara pengecam kehidupan seks bebas yang sebenarnya iri karena tidak mampu memiliki uang cadangan puluhan hingga ratusan juta rupiah untuk sekadar “memadu kasih” dengan sang artis. 

Sebaliknya, jangan-jangan banyak juga perempuan (maaf) yang cemburu karena tidak berani nekat menjual diri yang dalam hitungan jam bisa meraup uang ratusan juta rupiah.

Dalam beberapa hari terakhir, lewat celotehan di media sosial, lewat tayangan berita dan talk show di radio dan televisi; banyak tokoh, pengamat sosial, dan penjunjung tinggi moral (agama), tiba-tiba terkesan menjadi orang paling tak berdosa.

Benar, saya sependapat dengan orang-orang itu, seks bebas, bisnis seks atau apa pun istilahnya tidak elok dilestarikan, meskipun fakta sejarah manusia tidak bisa ditutup-tutupi bahwa (sekali lagi maaf) pelacuran merupakan aktivitas (ada motivasi bisnisnya) tidak bisa dan tak akan pernah mati. Yesus Kristus pun pada zaman-Nya tidak bisa meniadakan “transaksi aurat” itu kecuali memaafkan para pelakunya.

Kita boleh saja salut dan angkat topi kepada Gubernur DKI Jakarta (waktu itu) Sutiyoso yang sukses menutup lokalisasi WTS Kramat Tunggak di kawasan Tanjung Priok. Anda dan saya boleh saja terkagum-kagum kepada Wali Kota Surabaya Risma yang sukses menutup sejarah kelam lokalisasi PSK Dolly.

Mari kita bertanya, ke mana para penghuninya? Dengan cara apa mereka menyambung hidup? Sudah bertobatkah mereka? Sudah rajinkah mereka beribadah dan menyesali lalu menangisi dosa masa lalu mereka. Jika pun mereka melanjutkan “karier” sebagai pemuas nafsu syahwat para lelaki, dengan cara apa dan bagaimana?

Saya menduga, jangan-jangan mereka masih terus melestarikan “profesi”-nya itu dengan cara yang lebih elegan dan “manusiawi” seperti menyamar sebagai mahasiswa, orang kantoran atau bahkan sebagai ibu rumah tangga yang mengaku telah bercerai dengan suaminya.

Lalu di mana mereka praktik? Karena pemerintah (negara) tak lagi memberikan tempat, mereka bersosialisasi dengan masyarakat sekitar dan menyewa kamar sebagai tempat untuk indekos atau menyewa apartemen.

Adakah solusi? Untuk sementara, aparat pemerintah lewat “prajurit moral” seperti halnya Satpol PP atau polisi yang bangga sekali masuk televisi karena berhasil menggerebek pasangan bukan suami istri sedang asyik masyuk di kamar, hanya bisa mengobrak abrik rumah yang dicurigai sebagai tempat prostitusi. Setelah itu para pelakunya ditangkap, wartawan diundang untuk meliput peristiwa memalukan tersebut, dan “wuuussss” kasus pun menguap begitu saja. Tak ada yang mampu dan mau mengontrol.

Dalam suasana tak bersolusi itu, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mencoba memberikan solusi dan berwacana melokalisasi pekerja seks komersial di sebuah tempat.

Solusi yang sebenarnya bukan barang baru, sebab negara seperti Malaysia sudah melakukannya. Aktivitas “haram” seperti judi dan eksesnya (pelacuran) diberi tempat istimewa di Genting. Pulau ini hanya boleh dikunjungi warga negara asing yang memang ingin berjudi. Warga Malaysia dilarang masuk ke Genting.

Indonesia sebenarnya bisa meniru Malaysia. Salah satu pulau di Kepulauan Seribu sebenarnya bisa didayagunakan sebagai tempat untuk menyalurkan syahwat judi dan (maaf) seks orang asing (baca: wisatawan asing).

Tapi, ketika Ahok mencoba menggunakan kemerdekaan berpikirnya soal itu, ia ditentang para pejuang moral. Banyak alasan yang diungkapkan, antara lain siapa yang bisa menjamin tidak ada warga negara Indonesia yang coba-coba menyeberang ke tempat terlarang tersebut?

Aha, sebuah alasan yang secara tidak langsung merupakan sebuah pengakuan bahwa tidak ada yang bisa menjamin orang-orang Indonesia bersih dan menjunjung tinggi moral, karena sebagian besar di antara kita (juga saya) ternyata masih berstatus sebagai orang-orang munafik.

Oleh sebab itu saya bisa pahami jika Ahok menantang agar para pejabat (mungkin) yang pernah “memakai” artis-artis yang diisukan bertarif puluhan hingga ratusan juta rupiah tersebut dipublikasikan. “Siapa tahu ada pejabat yang sebelumnya pernah memaki-maki saya,” katanya kepada wartawan yang iseng bertanya kepada Ahok, “apakah pernah ditawari orang-orang tertentu untuk mengencani seorang artis?”

“Orang-orang bersih, jauh dari dosa dan penjunjung tinggi moral” tiba-tiba muncul di tengah-tengah publik manakala kasus artis AA (dia layak dikasihani dan dimaafkan) terbongkar. Banyak petinggi moral marah manakala Ahok berwacana melokalisasi perbuatan “haram” di sebuah tempat.

Ah, jangan-jangan saya yang lebay dan pesimistis karena sesungguhnya manusia Indonesia adalah penjaga moral paling tinggi dan terhormat sejagat, sehingga di negeri ini tidak ada korupsi, apalagi pelacuran. 

Saya coba berandai-andai, kalau saja perintah Yesus “barang siapa di antara kamu yang merasa tidak berdosa, ambillah batu dan jadilah orang pertama yang merajam  perempuan (pelacur) ini”, diteriakkan di sini, jangan-jangan banyak di antara kita (termasuk saya) yang berebut mengambil batu, lalu merajam AA, karena saya merasa tidak berdosa. 

Ya, merasa tidak berdosa, bersih dan suci! Padadal faktanya? []
Leave A Reply

Your email address will not be published.